1. Awal dimulai

11 0 0
                                    


Kita tak pernah tahu, bagaimana nasib seseorang diujung pilihan.
Dan masa depan yang bergantung akan pilihan tersebut dapat berubah kapanpun tanpa diminta.
Namun, dapatkah lari dari kenyataan?
Untuk kali ini, itu adalah keputusan gila.
Lari, hanya akan membuat masalah baru, begitu pula dengan pilihan yang semakin bertambah.
Karena dilihat dari sisi mana pun, pada akhirnya, kita harus memilih antara melakukannya atau menanggung eksekusi.

Kini, di siang hari yang terik, suasana setiap kelas hampir terasa seperti dipanggang dengan api menyala. Beberapa kipas angin di sudut ruangan sama sekali tak meredakan peluh keringat pada masing-masing murid. Tangan mereka mengibas diudara, dengan jas almamater yang sudah kompak ditanggalkan. Ditambah lagi pelajaran berbobot rasanya tak ada satupun yang dapat dicerna oleh otak.

Sama halnya dirasakan gadis disuatu kelas lantai tiga yang menjadi sasaran empuk matahari karena letaknya tepat di tengah-tengah.

Si gadis menyeka keringat pada dahi dengan tisu kering. Lalu menoleh ke samping kanannya.

"Apa kau masih memiliki minum?" tanyanya pada teman sebangkunya.

Temannya menggeleng pelan, membuatnya mendesah kecewa. Ia bangkit dari duduknya, berniat izin ke kamar kecil berkedok untuk membeli air mineral di kantin.

Setelah melenggang dari kelas, gadis itu merenggangkan ototnya sembari menghembuskan napas. Setidaknya di luar tidak sepanas berada di dalam kelas.

Ia melihat sekitarnya yang tentu saja sepi. Tanpa berlama-lama akhirnya gadis itu sudah berada di kantin. Gadis itu segera membayar setelah mengambil botol yang dicarinya lalu berniat kembali ke kelasnya. Namun, siapa sangka ketika ia berbelok melewati lorong laboratorium yang menghubungkan dengan lorong kelas lantai satu tiba-tiba terdengar bunyi benturan yang lumayan keras.

"Astaga, Tuhan!" katanya terkejut sembari reflek membuat jarak dengan ruangan itu.

Alih-alih mengabaikan, dirinya justru malah penasaran. Pada akhirnya, ia mencoba untuk memeriksa. Tangannya yang bebas mendorong pelan pintu ruangan itu, tetapi pandangannya tak kunjung menangkap penyebab bunyi yang ia rasa itu adalah sesuatu yang berbenturan dengan lantai. Saat ingin melangkah masuk ke dalam, pergerakannya dihentikan oleh seseorang. Gadis itu menatap bingung ke arahnya.

"Berhenti, Rhesh Mangata." Orang itu berucap serius.

Rhesh semakin dibuat bertanya-tanya kala Samuel yang merupakan kakak kelasnya sekaligus senior anggota klub olahraga menariknya menjauh, tak lupa lelaki itu menutup rapat pintu laboratorium tersebut seolah tak ingin memberi celah bagi siapapun mengusik ruangan itu.

"Memangnya kenapa kau menjauhkanku dari sana, Kak Samu?"

Pertanyaan yang sudah pasti terlontar itu tak langsung dibalas. Hingga saat dirasa keduanya hampir sampai di lantai dua barulah lelaki itu angkat bicara.

"Aku merasa ada yang tidak beres saja, siapa tahu ada benda berbahaya yang bisa saja melukaimu," Samuel berucap sembari memandang kelas milik si gadis yang sudah terlihat, "untuk sekarang lupakan hal tadi,"

Jika benar ada sesuatu yang berbahaya mungkin itu karena peralatan yang jatuh atau pecahan zat kimia lain, dan ia rasa akan ada yang bertugas membersihkan, begitulah kira-kira isi pikiran Rhesh yang memilih tak terlalu mengambil pusing. Meskipun tak dapat dipungkiri jiwa penasarannya terpancing.

"Kakak berkata begitu, membuatku semakin penasaran. Tapi, baiklah," kata Rhesh sebelum melambai pada Samuel.

Si senior klub olahraga menatap punggung yang menjauh dengan sorot mata yang sulit diartikan. Pikirannya kembali pada ruangan mencurigakan itu. Samuel itu terkadang suka negative thinking.

𝐕𝐞𝐧𝐠𝐞𝐚𝐧𝐜𝐞Where stories live. Discover now