Tentang Perasaan dan Kenangan

32 5 0
                                    

Setelah 15 tahun berlalu, sejujurnya ia tidak menyangka hidup akan membawanya kesini dalam situasi ini. Andai 15 tahun lalu bahwa hidupnya akan menjadi seperti ini, ia lebih baik memilih untuk tidak mengenal orang-orang itu. Andai dia tidak serakah. 

Matanya memerhatikan ombak yang berdebur dengan langit senja sebagai latar. Matahari hampir terbenam, udara pun makin dingin dengan angin yang makin lama makin berembus kencang. Suara deburan ombak bersahutan dengan klakson di kejauhan. Sesekali ia melirik ke kanan dan kiri. Memastikan ia memang benar sendirian.

Dibenamkannya wajahnya ke lipatan tangannya yang memeluk lututnya yang ditekuk. Ketika ia merasa bahwa cahaya matahari yang terbenam masih tertangkap, dipejamkannya matanya erat-erat. Sambil menghitung angka pelan-pelan, ia hanya memfokuskan pendengarannya pada suara ombak dan burung camar atau klakson kendaraan yang sesekali terdengar.

Ia mengembuskan nafas berat dan kembali menatap lautan dengan merana. Ia ingin lari, tapi ia sudah lari. Dia mengira jarak akan membantunya bernafas lebih mudah, tapi ternyata tidak. Dia masih kesulitan bernafas, tidak bisa berpikir, tidur pun tidak mampu memberinya ketenangan.

Tiap malam—sejak malam itu—ia hanya mampu berbaring ke kanan dan ke kiri. Bergerak-gerak gelisah dan sesekali mencucurkan air mata hingga tidak mampu lagi ia sembunyikan matanya yang bengkak. Wajahnya pucat dan lelah. Tubuhnya apalagi tapi bahkan dengan semua kelelahannya dalam kondisinya saat ini menempuh perjalanan sejauh itu seorang diri, tak mampu memberinya tidur yang nyenyak.

Betapa kuat godaan untuk mengecek ponselnya setiap menit dan detik tapi ia tahu hanya kecewa yang akan menantinya. Tidak ada telepon, tidak ada pesan bahwa orang itu mencarinya. Lalu ia akan semakin kecewa mengetahui fakta bahwa orang itu tidaklah menganggap dirinya seperti ia menganggap kehadiran orang itu. Karena itu, dia membuang kartu selulernya. Paling tidak bila ia tidak memiliki akses apapun dengan dunia, ia tidak akan tergoda untuk membuat hatinya kecewa lebih dalam.

Lagu itu terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Lagu yang dinyanyikan oleh seorang penyanyi dari Korea Selatan namun hanya sepenggal lirik yang ia ulang-ulang di dalam hatinya.

Benar, cinta itu seperti ini.

Dalam cinta, hanya ada dua kemungkinan arahnya. Satu, akhir yang bahagia. Dua, akhir dengan duka nestapa. Dan semua itu tergantung darimana sisi kita melihat. Ada sebuah perpisahan tapi perpisahan itu berarti indah. Ada pertemuan tapi pertemuan itu adalah petaka.

Baginya, cinta itu adalah sebuah kemewahan yang tidak akan pernah ia rasakan. Ia sudah lelah mencari dan mengejar cinta. Ia memutuskan bahwa ia tidak lagi menginginkan cinta. Sudah cukup ia memberikan cintanya dan semuanya hanya membuatnya terluka lebih dalam.

Malam menjelang dan tidak ada penerangan. Sekelilingnya berubah gelap. Hanya bias lampu di kejauhan yang menjadi petunjuk arahnya. Kepalanya makin berdenyut nyeri. Kurang tidur dan kurang gizi juga kelelahan membuatnya begitu lemas. Ia memaksa dirinya untuk bangkit berdiri. Dipejamkannya matanya sejenak untuk menghalau kunang-kunang di matanya. Tangan dan kakinya gemetar hebat. Ia lupa kapan terakhir kali perutnya terisi oleh makanan yang layak.

Dikibaskannya debu dari celananya dan menyalakan senter di ponselnya. Sedari tadi pagi ia duduk di atas tebing ini seorang diri. Di pagi hari, mudah sekali menemukan jalan setapak hingga di puncak tebing itu, tapi di malam hari ia harus ekstra hati-hati mencari jalan pulang bila tidak ingin terjerembab karang di bawah atau ke laut yang pasang.

Sejujurnya pikiran itu menggodanya sejak ia menemukan tebing itu. Ia berandai-andai bila ia memiliki nyali yang cukup untuk terjun dari sana. Apakah ia akan langsung mati menghempas karang yang tajam di bawah situ? Ataukah lautan akan menyapunya hingga ke tengah pusaran kuat yang tidak memungkinkannya untuk berenang menyelamatkan diri? Apakah ia akan mati dengan menderita atau tanpa rasa sakit?

Lama ia termenung memikirkan semua kemungkinan itu sebelum akhirnya dihembuskannya nafas yang berat dan kembali menyinari jalannya. Turun tidak semudah naik. Apalagi dalam keadaan gelap gulita. Apalagi dengan kaki yang terasa nyeri dan otot yang berkedut lelah. Terlalu banyak bergerak dan kekurangan nutrisi. 

Ia harus benar-benar konsentrasi untuk menyusuri jalan turun tebing itu bila ia tidak ingin mengalami hal konyol, seperti tersandung dan mematahkan kakinya misalnya. Ia ingin mati. Bukan ingin menderita karena kecelakaan yang merenggut nyawanya saja tidak. 

Ia mendesah lega saat sudah kembali menapakkan kakinya di pasir pantai dan jalanan yang rata. Dimatikannya senter di ponselnya ketika didengarnya suara itu. 

"Fourth!" 

Tubuhnya membeku mendengar suara yang memanggilnya itu. Ragu tapi juga penasaran ditolehkannya kepalanya mencari sumber suara. Ia merasakan telapak tangannya menjadi berkeringat--bukan karena berjuang turun barusan. Tubuhnya pun menegang. Seolah semua sirkuit yang mengendalikan dirinya mati total. 

***

Oh iya, bila ada yang sudah membaca you are my moon by rompaeng, mungkin kalian sadar akan kondisi rumah Fourth. Di Korsel, kemiskinan seseorang mudah digambarkan dengan apartemen basement, tapi di thailand (yang aku tidak familiar kulturnya) aku ragu ada tempat tinggal semacam itu jadi untuk mempermudah menggambarkan kondisi sosioekonomi Fourth yang miskin, aku meminjam sedikit detail di novel you are my moon. 


Anjing dan KudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang