Luka Itu Sembuh Bila Dibiarkan Terkena Udara dan Dirawat

27 5 0
                                    

Mereka duduk di sebuah rumah makan yang masih buka di dekat pantai. Kedua wanita itu memesan tomyum, oyster omelette, dan cumi goreng sementara Fourth nyaman hanya dengan sup krim jagung kepitingnya. Ia sungguh tidak merasakan nafsu makan sejak malam itu.

Selagi kedua wanita itu menghabiskan makan malam mereka, Fourth hanya mengaduk-aduk supnya tanpa merasa bersemangat.

"Phi Fourth."

Fourth mengangkat kepalanya dan menatap Mai, salah satu dari wanita itu yang merupakan anak didiknya 15 tahun lalu. Mereka berdua sejujurnya termasuk dari kelompok orang yang tidak ingin ditemuinya hingga beberapa tahun ke depan. Tapi sepertinya dunia itu memang sempit.

Mai dan kakak perempuannya, Wen sedang liburan di Phuket sejak seminggu yang lalu selain untuk perjalanan bisnis. Malam itu, mereka baru saja minum-minum di bar dan memutuskan untuk makan malam yang terlambat sebelum kembali ke hotel yang mereka tempati seminggu ini.

Memilih untuk menyusuri pantai daripada jalan raya, membuat mereka berpapasan dengan Fourth yang tampak baru saja turun dari tebing yang cukup terkenal disana. Tebing itu cukup mudah didaki dan spot yang pas untuk menghabiskan senja atau matahari terbit.

Melihat Fourth yang sekarang, untuk sesaat Mai diliputi keraguan untuk mendekatinya. Walaupun penerangan di sana kurang memadai, Mai dan Wen dapat melihat tubuh Fourth yang kurus. Jauh lebih kurus daripada terakhir kali mereka bertemu.

Wajahnya pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tampak jelas. Pipinya cekung, bibirnya kering. Rambutnya tampak lepek dan berantakan.

Mai dan Wen mengingat dengan baik dulu hingga terakhir kali mereka bertemu (dua atau tiga bulan lalu?), Fourth selalu tampil rapi dengan pakaian bersih yang disetrika rapi walaupun ia sedang santai di rumahnya yang berada di dalam kompleks pemakaman. Wajahnya bersih dan rambutnya pun selalu ditata dengan rapi.

Namun melihatnya sekarang, mereka seolah melihat orang lain. Mai dan Wen seketika diliputi rasa iba. Semua masalah yang menimpanya belakangan ini, pastilah menghancurkan hidupnya.

Sejujurnya, ketika mereka sudah duduk berhadapan seperti ini, Mai kebingungan harus mengucapkan apa. Saat Fourth menatap lurus ke arahnya, lidah Mai mendadak kelu. Suasana kembali canggung saat tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya.

Fourth kembali menunduk menekuri supnya yang hampir tidak berkurang isinya sebelum akhirnya Mai menanyakan pertanyaan pertama yang tiba-tiba terlintas begitu saja.

"Apakah Nattawat disini bersamamu?"

Jari Fourth berhenti mengaduk-aduk supnya yang sudah dingin. Untuk sesaat ia hanya terdiam memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan pada Mai sebelum akhirnya memilih untuk berterus terang. Ia sudah lelah memendam dan berpura-pura selama ini.

"Tidak."

Hanya sepatah kata itu. Mai berniat membuka mulutnya lagi sebelum akhirnya Fourth melanjutkan kata-katanya.

"Aku disini tidak bersama siapa-siapa. Lebih baik seperti itu. Setelah semua yang terjadi kemarin, aku rasa ada baiknya aku tidak dekat-dekat dengan keluarganya lagi. Aku toh hanya membuat malu mereka. Selama ini mereka sudah sangat baik padaku, dan apa yang terjadi sungguh tidak seharusnya terjadi kalau aku tidak bodoh dan egois."

Mai kembali terdiam. Dia sudah dengar tentang kejadian itu. Saat itu dia dan Wen masih berada di Italia untuk bisnis. Andai mereka ada disana saat kejadian itu terjadi, dia tidak akan ragu membela Fourth. Baginya Fourth memang memiliki andil yang salah, tapi sungguh jahat bila semua kesalahan ditimpakan padanya ketika Fourth sudah tidak lagi berhubungan dengan laki-laki itu untuk waktu yang cukup lama.

"Nattawat tidak tahu, semua orang tidak tahu aku disini. Aku sudah menghabiskan tabunganku untuk pindah kemari dan membeli nomer ponsel yang baru dan aju berharap keadaannya akan tetap seperti ini untuk waktu yang lama."

Fourth mengucapkan hal itu dan menatap lurus ke mata Mai. Mereka semua tahu bahwa Mai yang juga sahabat dekat Nattawat, paling susah menyembunyikan rahasia apapun darinya. Mai menggaruk rambutnya yang tidak gatal dan menghindar dari tatapan Fourth.

"Aku serius, Mai. Setelah apa yang terjadi, jauh lebih baik aku hidup terasing di tempat lain. Aku sudah mempermalukan keluarga Nattawat. Walaupun aku sudah berlutut minta maaf pada mereka, tidak lagi berhubungan dan jarak dan waktu untuk melupakan adalah jawaban yang terbaik."

Nada dan tatapan putus asa Fourth lah yang membuat Mai mengangguk dan berjanji untuk tidak memberitahukan keberadaannya pada siapapun. Lagipula ia tahu bahwa lebih dari siapapun, Fourth berhak untuk melakukan hal ini. Dunia sudah terlalu jahat untuknya. Tinggal di lingkungan yang baru dimana tidak ada seorang pun dalam lingkungan mereka yang dikenalnya disini (kecuali pertemuan mereka yang tidak disengaja malam ini), mungkin bisa membawa Fourth ke kehidupan yang lebih baik.

"Tapi Phi Fourth juga harus berjanji, hubungi kami kalau kau membutuhkan bantuan. Sudah cukup kami berdiam diri melihat semuanya tanpa bisa membantu apapun." Timpal Wen yang sedari tadi memilih diam.

Fourth mendesah dan mengangguk pasrah. Mereka berdua bisa sama keras kepalanya dengan dirinya. Suasana kembali sunyi dan mereka melanjutkan percakapan dengan topik yang lebih ringan.

Setelah menghabiskan makan malam mereka dengan Wen dan Mai yang menolak pergi sampai Fourth menghabiskan makan malamnya yang tampak seperti makanan yang baru dimakannya sejak beberapa hari terakhir, mereka berjalan bersisian di tepi pantai.

Angin membuat mereka menggigil, tapi mereka tidak sedang diburu waktu. Waktu adalah kemewahan yang mereka miliki saat ini walaupun jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Saat itulah, dengan hati-hati Wen meminta Fourth menceritakan apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.

Lama sekali Fourth hanya menunduk memandangi kakinya yang bernoda pasir pantai. Sendal yang dikenakkan terbuat dari karet dan amat tidak nyaman saat basah dan terkena pasir dan menggores kakinya tapi ia tidak peduli. Ketika akhirnya Fourth membuka suara, Wen dan Mai benar-benar fokus mendengarnya walaupun deru angin begitu kencang memekakkan telinga. Semua tentu saja dimulai dari tempat itu. Tempat kerja lamanya di Bangkok.

***

Anjing dan KudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang