ADANU

206 10 2
                                    

Tidak ada yang salah dengan hidupku dengan hidup orang lain. Semuanya berjalan normal, tidak sedikit pun terasa berbeda dengan orang lain. Seingatku, sampai saat ini tubuhku masih menapaki tanah dari tidak ada sejarahnya kalau tubuhku pernah melayang meski itu hanya setengah senti dari permukaan tanah.

Seluruh badanku tampak, tidak transparan, dan kurasa semua manusia memang terlihat begitu.

Sayang, perbedaanku dengan manusia normal menjadi kentara karena omonganku sering ngelantur, mengatakan kalau ada laki-laki melayang di atap rumah, manusia berbulu meringkuk di sudut dapur, atau wanita cantik dengan rambut sepanjang tubuh ular besar tengah duduk tersenyum menghadap aku dan Kak Runa di ruang keluarga.

Dan tingkat terparahnya adalah, ketika aku meliuk-liukkan sendok, garpu, pisau dan centong nasi di udara di tengah kekhidmatan makan malam sekeluarga. Kekuatan itu di sebut telekinesis.

Ada begitu banyak bentuk makhluk yang kulihat setiap hari. Makhluk-makhluk abstrak yang menjadi konsumsi mataku sehari-hari.

Sisi positif dari situasi ini adalah kemampuan telekinesisku menjadi jalan pintas bagi anggota  Aku memudahkan pekerjaan  dengan mengangkat barang-barang yang letaknya jauh atau tersembunyi dengan lewat udara.

Sisi negatifnya, selama tujuh belas tahun hidup, aku tidak pernah memiliki teman yang bertahan lebih dari satu atau dua minggu. Ketika kami mulai akrab satu sama lain dan lalu tanpa sengaja, atau terkadang sengaja, aku melakukan ‘atraksi’ di depan mereka.

Ada yang menyebutku alien, penyihir, tukang hipnotis, bahkan ada yang memanggilku anak setan. Memasuki bangku SMP aku semakin terbiasa. Terbiasa sendirian, terbiasa diserang oleh tatapan waspada dari teman- teman sekolah, terbiasa dengan kerumunan yang langsung bubar jalan ketika aku lewat di depan mereka.

Pernah aku merasa terluka. Waktu itu umurku tujuh tahun, aku terisak di pojok kelas saat jam istirahat karena semua meja menolakku untuk makan bekal bersama. Penolakan-penolakan itu pada akhirnya membuat permukaan kulitku menebal seiring bertambahnya usia bertambah.

Di usia enam tahun, Kak Runa lah, yang  menjadi teman mainku. Dia perempuan cantik dan baik. Dia juga sama seperti aku, bisa melihat makhluk dan mengangkat benda-benda.

Kedekatanku dengan Kak Runa  seperti teman sebaya yang punya minat serupa. Sekalinya ngobrol kami tidak akan bisa berhenti. Orang biasa yang mendengar percakapan kami mungkin akan berpikir bahwa kami berasal dari keluarga paranormal atau keluarga sedeng.

“Hanna.”

Di suatu sore yang hangat dan teduh aku dan Kak Runa yang saat itu masih berusia 18 tahun berbaring di atap loteng rumah sambil memejamkan mata. Menikmati matahari sore yang beranjak pulang.

Saat itu usiaku sepuluh tahun. Ketika itulah untuk pertama kalinya aku paham bahwa ada banyak orang lain yang sama sepertiku dan Kak Runa, aku bagian dari sebuah komunitas, dan kami punya nama.

“Kamu itu Mahes,” bisik Kak Runa sambil menatapku.

“Mahes?”

Kak Runa membelai rambutku dengan lembut, “Sebutan untuk manusia yang punya kemampuan melihat makhluk dimensi lain dan bisa menggerakkan benda hanya lewat pikiran.”

“Kakak  juga Mahes?” tanyaku sambil mengerucutkan alis, aku baru pertama kali mendengarnya.

Kak Runa  mengangguk pelan. “Dan kita juga punya penjaga, Hanna.”

Dengan segala pemahaman yang ku punya, aku hanya mampu mengangkat kedua alisku begitu mendengar pernyataan itu untuk pertama kalinya.

“Di mana penjaganya? Kenapa aku nggak pernah ketemu dia?” tanyaku.

ADANU Sang Penjaga (21+) On going Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang