ADANU 2

102 10 2
                                    

Pintu gerbang membuka. Keheningan dari suara manusia yang langsung menyergapku begitu keluar dari menara tadi mendadak terpecahkan oleh serbuan tawa dan sahut-sahutan puluhan, bahkan mungkin ratusan manusia yang kulihat selanjutnya.

Pakaian serba putih berlalu-lalang di lapangan rumput yang luasnya kira-kira sama dengan satu stadion sepak bola. Ada sekelompok kecil murid tengah asik duduk duduk di pinggir lapangan, ada yang gesit bermain bola.

Pemandangan sama yang aku lihat 8 tahun yang lalu. Tidak ada perubahan, masih sama seperti dulu.

“Selamat datang.” Suara berat seorang laki-laki yang membukakan gerbang. Dia tampan, tinggi, gagah, wangi dan berambut Putih. “Apa kabar kak Runa dan Hanna?”

Eh?!! Kenapa dia tahu namaku?

Rambut putihnya? Jangan bilang? Tidak mungkin kan? Bahkan tinggiku hanya mencapai dadanya, tidak mungkin ini anak lusuh, kotor dan bau itu kan?

Kak Runa melangkah dan menepuk pundak lebar pria itu, kak Runa tersenyum hangat, “Kabarku baik, bagaimana kabarmu Adanu?”

Adanu? Bernarkah? Atau aku sedang bermimpi?

Ini BENAR-BENAR ADANU?!

Aku menatapnya dengan cermat sekaligus terpesona, dia jauh dari yang aku bayangkan. Bukan tidak senang, tapi aku hanya sangat terkejut.

Tatapan malu dan senyum kecil nya menanggapi pertanyaan Kak Runa, mereka berbincang-bincang pendek dan beralih padaku.

“Hanna.” Kak Runa menarik tanganku supaya lebih dekat, dia menekan sedikit genggamannya dan melirik Adanu dengan aneh, “apa kamu tidak mau menyapa Penjaganmu.”

“ehh.” Jadi ini maksudnya lirikan dan genggamnya, aku tersenyum terpaksa dan tertawa kecil, “eh, anu, apa kabar Adanu, itu, apa, lama tidak bertemu.”

Aku yakin wajahku memerah. Aku omong apa sih?! Aku sangat malu!!!

Adanu tersenyum manis, “Iyah, lama tidak berjumpa Hanna.”

Aku tersenyum aneh, aku tidak tahu harus berkata apa. Menatapnya saja aku tidak sanggup saking malunya, Adanu benar-benar berubah.

Suasana menjadi canggung, tiba-tiba kak Runa pergi begitu saja dengan alasan melihat Kak Ambar. Padahal aku tidak melihat apa-apa yang dia tunjukan.

Alasan! Lalu sekarang? Bagaimana dengan Adanu?

Apalagi aku tidak pernah memiliki pikiran yang baik untuk Adanu. Aku jadi merasa bersalah padanya.

“Hanna.” Panggil Adanu sembari memegang koperku di tanganku, tangan kami bersentuhan, “biar aku yang bawakan dan ayo aku tunjukkan kamarmu.”

Aku melepaskan tanganku dan tersenyum padanya, “iya, ayo Adanu.”

Kami berjalan melewati taman, kecanggungan antara aku dan Adanu begitu ketara, tapi untunglah, pandangan ini terus aku melucuti.

“Kamu orang pertama yang datang, yang lain akan menyusul 5 hari lagi.” Suara Adanu membuatku mengerti kenapa Kak Runa menyuruhku cepat-cepat ke sini. Mungkin untuk memperbaiki hubunganku dan Adanu.

Kamu melewati lorong panjang, Adanu menjelaskan sedikit tempat di sini. Katanya hari ini aku di suruh istirahat lebih dahulu dan besok dia akan memperkenalkan tempat ini.

Pondok asrama  Mahes perempuan dan laki-laki di pisah dengan sungai besar. Dan aku berada di paling belakang dan dekat dengan sungai.

“Bagaimana perjalanannya?” suara Adanu membuyar keheningan kami, dia membuka pintu pondok dan menyuruhku masuk lebih dahulu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ADANU Sang Penjaga (21+) On going Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang