Tujuhbelas

133 47 395
                                        

Hana

Kami tiba di alun alun saat toko toko mulai menyalakan lampunya. Hari berubah gelap, alun alun semakin ramai. Saka memarkirkan si Bangkot kemudian mengajak gue berjalan ke tengah lapangan.

Gue melirik ke pedagang mainan gelembung di tepi lapangan. Kelihatannya seru kalau main gelembung.

"Kenapa? Mau main itu?" tanya Saka yang ternyata turut berhenti dan mendapati gue yang melirik pedagang gelebung.

"Boleh?"

"Bolehlah!" ucapnya yang seketika membuat gue sukses menyengir lebar.

Si atlet renang ini menggandeng gue lembut untuk menuju ke pedagang gelembung. Saat dia sibuk berbicara dengan penjual, gue memandangi tangan kami yang masih bertautan. Rasanya aneh karena gue nyaman padahal dia adalah Saka.

"Ayo main ini di tengah lapangan!" ajak Saka.

Gue mulai membuka botol gelembung tadi lalu meniupnya. Sontak puluhan gelembung terbentuk dan bertebaran. Saka dengan senang memecahkan gelembung gelembung tadi.

"Han kalau gue berhasil mecahin semua gelembung lo harus jadi pacar gue ya!" ucapnya dengan semangat saat menunggu gue meniup lagi.

"Nggak ya Sak!"

"Jahat!"

Gue kembali meniupnya dan Saka dengan heboh meletuskan semua gelembungnya. Gue menertawai Saka yang sampai heboh bergerak kesana kemari.

"Eh hati hati loh Sak!" tegur gue saat dia mulai loncat loncat karena gelembungnya terbang ke atas.

"Woy woy yahhh!" teriaknya kecewa saat gagal mengejar satu gelembung.

Kami menatap satu sama lain kemudian tertawa lepas. Gue menilik kembali pada satu gelembung yang terbang semakin tinggi.

Saat mendongak ke atas tiba tiba satu rintik hujan jauh membasahi wajah gue. Kemudian disusul rintik rintik lain.

"Sak hujan!" gue reflek menariknya. Kami berlari ke tepi lapangan sambil tertawa tawa.

Warung bertuliskan Warung Lamongan menjadi pilihan kami untuk berteduh. Warung ini terletak di paling pojok dan belum buka. Diantara warung lainnya memang warung kecil ini yang sepi dan tersisa untuk berteduh. Hanya kami berdua yang memilih berteduh disini.

"Basah ya?" gue maju menepuk nepuk pundak Saka yang basah. "Hujan pertama ini, bisa bikin sakit," lanjut gue sambil mengusap rambut Saka yang basah. Senyum Saka yang tadinya mekar menghilang begitu saja. Gue jadi berhenti mengusap rambutnya. Eh dia nggak suka ya kalau dipegang rambutnya?

Tiba tiba cowok itu menunduk, membuat wajahnya sejajar dengan wajah gue. Gue terkejut dan otomatis mengalihkan pandangan karena jarak kami hanya sejengkal. "Apa sih!"

"Lo juga basah!" Dia ikut mengusap kepala gue yang terkena sedikit rintik hujan. Saka mengusapnya dengan perlahan, sangat pelan sampai gue rasanya mau kabur aja karena gugup.

Tiba tiba cowok itu maju, membuat gue menahan napas sejenak.

Kepalanya tepat di samping kepala gue. Gue nggak bisa kabur karena tangannya bersaandar di pundak gue, menahan.

Dia berbisik lirih tepat di samping telinga gue, "Han, kalau lo gini lagi gue bisa maksa lo buat jadi pacar gue."

Gue lantas mundur untuk menciptakan jarak. "Nggak usah banyak berharap Sak."

"Emang apasih yang lo mau tapi nggak ada di gue Han?" Cowok itu masih menunduk, wajahnya persis di hadapan gue.

"Cowok yang masa lalunya baik."

Seribu Harapan Hana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang