Bab I Tetesan Air Mata

42.4K 1.1K 2
                                    

Prakkk...
Tangan kanan yang besar terhempas ke pipiku. Kepalaku tertengok secara paksa kekanan.
"Ahh..." rintihku. Kuelus pipi kiriku. Mataku terpejam. Tamparan itu begitu keras.
"Juline, cepat bayar hutangmu!"
Para penagih hutang tengah menagih hutang kepadaku. Bukan hutangku namun hutang ayahku. Warisan yang ia tinggalkan bukan tanah luas ataupun rumah mewah, namun setumpuk surat hutang yang harus segera dibayar.
"Aku akan mencicil pembayarannya." ucapku pelan.
"Apa? Apa yang kau katakan? Aku tak mendengarnya." ucap salah satu pria tinggi besar yang tengah menggenggam kerahku dengan paksa.
Kudongakkan wajahku, "AKU AKAN MEMBAYARNYA!" teriakku.
Brukk ...
Ia melepaskan genggamannya. Mendorongku ketanah.
Arkkk ...
Tulang punggungku terbentur. Rasa sakit merambat dari punggung belakang. Kuelus punggung belakangku.
Mataku berkaca-kaca. Gigi bawahku menggigiti lidahku.
"Aku ambil surat tanah runah ini sebagai sitaan, kalau kau sudah membayar lunas hutangmu baru kukembalikan surat rumah ini!" ucap seorang pria lain dari kejauhan. "Frans ayo kita pergi." ajaknya kepada pria di hadapanku.
Mereka berdua kini meninggalkanku sendirian dengan rumah yang sudah terbengkalai.

Our  Beloved NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang