"Haniya, kamu udah makan?" tanyaku.
Hanya diam. Haniya tak meresponku. Ia tak menjawabku bahkan menengok pun tidak. Seakan ucapanku tak pernah terlontar.
Sudahlah, mungkin ini alasan mengapa Pak Dirga mau membayar mahal untuk tenaga pengasuh.
Aku membuka kulkas. Mengecek persediaan makanan. Tak banyak, hanya ada udang dibekukan, sosis, nugget dan dua buah apel. Sepertinya selama ini mereka hanya memakan makanan instant.
Aku mengambil udang. Menutup kulkas. Mencari tepung di laci-laci dapur. Beberapa saat kemudian aku mendapatkan tepung ayam goreng. Aku melumuri udang dengan tepung itu, lalu menggorengnya. Menyajikannya dengan saus tomat.
"Haniya, makan dulu ya." ucapku. Aku tak tau ia sudah makan atau belum. Lebih baik ia lebih kenyang dari biasanya daripada kelaparan, pikirku.
"Hakkkk..." ucapku seraya membuka mulutku. Mencontohkannya untuk membuka mulut.
Ia mendongak ke arahku. Raut wajah ragu-ragu terlihat disana.
"Kamu ngak laper sayang? Kakak aja udah laper nih. Habis Kakak suapin kamu kakak makan. Kalau kamu ngak makan-makan, waktu makan kakak tertunda deh." ucapku. Aku memasang tampang lesu.
Ia menatap mataku. Menengok sebentar ke piring makannya. Udang goreng dengan sedikit saus kusiapkan untuknya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ia membuka mulutnya dengan lebar.
"Nah gini dong." ucapku.
Tak butuh waktu lama untuk menyuapinya makanannya. Ia tak melakukan penolakan. Ia membuka mulut lalu mengunyah makanannya.
***
"Ahak ahak .... " Suara batuk Haniya terdengar dari tempatku berdiri. Aku sedang menyuci piring. Membersihkan perabotan sisa makan kami.
Aku menengok. "Haniya!" Haniya kini tengah mencengkram kerah roknya. Ia terus terbatuk-batuk. Mukanya semakin memerah. Nafasnya mulai tersengal-sengal.
Aku berlari menghampirinya.
"Haniya! Haniya! Kau kenapa sayang?!" ucapku. Aku panik. Ia terlihat begitu kesakitan.
Aku menggendongnya. Mengunci pintu rumah lalu berlari ke jalan raya.
Jalanan kali ini sepi. Tak ada satu pun kendaaraan yang lewat. Aku berencana menggunakan taksi tapi tak ada yang terlihat. Aku mengeluarkan ponsel di saku celanaku. Menelpon nomor taksi yang aku hafal. Maklum, salah seorang teman sekamarku dulu ayahnya supir taksi. Jadi saat ayahnya menengoknya di kos-kosan selalu membawa taksinya. Karna terlalu sering melihat, mataku sudah hafal nomor telponnya.
"Halo, Pak bisa pesan taksi ke Jalan Raya Melati, Jakarta Barat, di depan pintu masuk perumahan Cempaka?" ucapku melalui telepon.
"Baik, tunggu sebentar ya."
"Iya Pak. Terimakasih." ucapku sambil memutuskan telepon.
Haniya masih terbatuk, wajahnya masih merah dan kini ia menangis, mengeluarkan air matanya perlahan tanpa tersedu. "Haniya, kamu sabar ya sayang. Sebentar lagi kita sampai." ucapku mencoba menenangkannya. Aku memeluknya. Mengeratkannya dalam gendonganku.
Tak beberapa lama kemudian sebuah taksi berwarna putih menghampiri kami. Seorang pria tua membuka kaca jendela.
"Nak, tadi yang pesen taksi ya?"
"Iya Pak."
Matanya tertuju pada Haniya. "Nak, itu anaknya kenapa? Asma?" ucapnya dengan panik.
"Saya ngak tau Pak. Tadi habis makan dia langsung kayak gini." ucapku.
"Ya udah langsung kita bawa ke rumah sakit aja."
"Iya Pak."
Perjalanan kami begitu hening. Aku terus berdoa untuk keselamatan Haniya dalam hati. Memeluknya terus menerus. Pak sopir menatap kami sesekali lewat kaca mobil. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Mungkin ia begitu takut melihat kondisi Haniya. Ia mungkin takut disalahkan bila ikut campur didalam masalah ini.
Aku segera berlari ke depan resepsionis setelah turun dari taksi. Menggendong Haniya dan memeluknya erat. Aku tak mau kehilangan Haniya.
"Mbak, tolong anak ini." ucapku.
"Baik, Ibu bisa menunggu disini untuk mengisi dokumen dokumen yang diperlukan dan saya akan memanggil dokter untuk menanganinya." ucap si perawat.
Aku menyerahkan Haniya. Aku terduduk di bangku sebelah meja resepsionis. Aku mengelus dadaku, meremas sedikit kerahku. Aku mencoba menguatkan diri. Hatiku begitu pedih melihat Haniya yang kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Beloved Nanny
RomanceKinan, gadis remaja yang bekerja menjadi pengasuh anak dari pengusaha kaya, Dirga Winata. Awalnya karena tekanan ekonomi, ia terpaksa menerima pekerjaan ini. Namun setelah melihat kondisi Hanaya hatinya pun meleleh. Ia mulai menyayangi anak itu. B...