"Kau abadi dalam sastra, dan prosaku, menjadi tokoh utama yang tak pernah tergantikan oleh siapapun. Meski hanya ilusi yang tak pernah berakhir nyata setidaknya aku bahagia karena mampu memilikimu dalam imajinasiku, menuai cerita bersama dalam rangkian aksara walau sebuah karangan."
_____________Jakarta, 2022.
Lalu lintas ramai oleh para pekerja yang berangkat. Pegawai kantor, pemilik toko, dan lainnya, semua memulai aktivitas. Puluhan pejalan kaki menunggu lampu merah berganti hijau, lantas serempak menyebrang. Terik nya mentari membuat tetesan keringat membasahi pakaian seorang wanita yang tengah tergesa-gesa menuju sebuah bangunan tua.
Wanita itu berjongkok, menyibakkan rambut yang mengganggu pandangan ke sela-sela telinga nya. Tak lama setelah itu, dia memungut sebuah kertas putih yang lusuh dan luntur. Sudah lebih dari lima bulan lama nya, wanita itu rajin mengunjungi tempat itu seorang diri. Namun kali ini dia membawa seseorang dan masuk bersama ke dalam bangunan tua itu.
"Apakah kau ingat sewaktu kita pertama kali mendatangi tempat ini, Tuan Zarel?" Wanita itu bersedekap dada dan menatap isi bangunan tua yang lusuh.
"Rasanya aneh saat kau memanggil ku dengan sebutan Tuan, Kak Alia," sahut seorang pria berseragam putih yang dibalut dengan kemeja hitam yang elegan serta tampang yang menawan dan begitu indah, bulu matanya yang lentik, serta tatapan mata yang hangat. Alzarel Maheswara, nama pria itu.
Alzarel menghentikan ucapan nya sejenak.
"Aku ingat dengan jelas saat kau menemukan ku yang sedang menangis di depan bangunan ini, Kak." Tawa kecil Alia terdengar begitu nyaring di ruangan kosong yang tidak berpenghuni
"Itu kenangan yang indah, sayangnya semuanya sudah usai." Alia mengangkat kepalanya dan menatap langit-langit ruangan yang lusuh.
Zarel menganggukkan kepalanya. "Aku setuju, kak. Sekarang semua nya udah menjalani kehidupan nya masing-masing." Tak lama kemudian, Alia membuka sebuah pintu yang akan membawa nya ke suatu ruangan, disusul oleh Zarel, membuntuti langkah kaki wanita itu.
Suara desis pintu usang terdengar di telinga mereka, menampakkan sebuah kamar yang sangat berantakan. Tirai jendela yang awalnya berwarna krem itu robek terkoyak, ranjang lusuh berdebu, ditambah lemari kayu yang ringkih, serta buku-buku usang yang berserakan. Hawa dingin kamar tersebut menusuk kulit, hembusan angin sepoi-sepoi membuat bulu kuduk mereka berdiri.
"kamu ingat ini kamar siapa?" kata Alia sambil berkacak pinggang- menatap Zarel dengan sedikit berharap.
"Ini kamar dia kan, Kak?" Tatapan Zarel berubah, bibir nya tersenyum kecut, dia terpaksa mengucapkan kalimat yang tak ingin ia katakan melalui bibirnya. Wanita itu mengangguk dan tersenyum tipis.
"Kau benar, ini kamar dia." Zarel terpaksa tersenyum usai mendengarnya, ia mendongakkan kepalanya dan menatap langit-langit kamar. Sebuah kenangan itu, sangatlah berharga bagi diri nya.
"Bagaimanapun juga, dia berusaha menempuh jalan hidup n ya sendiri. Tapi, dia menghilang gitu aja," Alia menyahut sambil melirik salah satu interior di dalam kamar.
"Ya, apa pada akhirnya, kau juga ingin melupakan dia, Kak?" Tatapan Zarel mengarah pada Alia, kakak perempuan nya. Alia tersenyum simpul. Lantas berbalik badan- menghadap Zarel, adik nya. Alia berjalan mendekat, dan berhenti sesaat. Jarak nya tak kurang dari sepuluh senti dari Zarel. Dia menepuk pelan kepala adik nya dengan lembut.
"Bagaimanapun juga, itu hanyalah kisah lama." Pandangan mata Zarel terlihat basah- air mata nya hendak menetes. "Katakan pada ku, Kak. Apa yang ingin kau lupakan di masa lalu selain... dia, Kak?" Alia, wanita yang tengah menepuk lembut sang adik kali ini menjawab pertanyaan Zarel dengan benar.
"Aku ingin melupakan kisah kelam, malam itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
KELAM
RandomTap.. tap.. suara langkah kaki anak kecil yang ter tatih-tatih menyeret sebuah beban besar di kaki nya. Hingga ia bertemu dengan seseorang yang tersenyum dan mengulurkan tangan nya untuk anak kecil itu. Tangan rapuh bergemetar ragu menerima uluran...