Dengan sedikit keraguan Tavisha merobohkan prinsipnya hanya untuk menerima lamaran dari Arkan. Ia yang dikenal teguh pada pendiriannya seakan menghilang setelah bertemu dengan pria itu. Setidaknya itu-lah yang mereka lihat.
Arkan datang dengan memba...
"Dua pikiran yang saling bertolak belakang, akan sangat sulit untuk disatukan. Apalagi dalam ikatan pernikahan." ~Sebatas Kewajiban~ * * Happy Reading🥂
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kenapa ke sini?" tanya Tavisha heran.
Tavisha tidak akan kebingungan kalau pria itu membawanya ke tempat lain. Tapi restoran? Untuk apa datang ke tempat ini, padahal satu jam yang lalu mereka baru saja menikmati makan malamnya di rumah utama.
"Kamu baru makan sedikit," jelasnya singkat.
"Aku ingin berbicara Arkan, bukan makan," gerutu Tavisha kesal.
"Saya tahu," jawabnya santai. "Kita bisa bicara setelah kamu selesai."
Tavisha mendengus pelan, lalu memutar bola matanya malas. Perempuan itu tidak melawan, ia menuruti apa yang Arkan perintahkan—terlebih perutnya memang masih terasa kekurangan makanan, mengingat Tavisha hanya makan sedikit sekali di rumah utama. Tadi, Tavisha bahkan tidak bisa menikmati makanannya.
Tak lama setelah mereka duduk, seorang pramusaji datang dengan membawakan buku menu. Arkan memberi tahunya, kalau dia sudah memesankan menu sebelumnya. Pelayan itu mengangguk mengerti, lalu pergi dengan sopan. Tidak butuh waktu yang lama, makanan mereka datang. Satu per satu hidangan disajikan, mulai dari starter, main course, hingga dessert.
Alis Tavisha mengernyit heran, melihat tidak ada satupun piring untuk pria itu. "Kamu nggak makan?" tanyanya.
"Saya cukup makan, tadi. Tidak seperti kamu," balasnya, yang membuat Tavisha berdecak pelan menanggapi sindiran itu.
Menghela napas pelan, Tavisha pun menikmati makanannya dengan tenang. Sementara pria di depannya tak bersuara, Arkan hanya sesekali menyesap air putih di gelasnya, sembari memperhatikan perempuan itu. Tavisha tentu saja menyadarinya, namun ia bersikap tidak perduli.
Tavisha menghabiskan makanannya dengan lebih cepat. Masa bodo dengan pria itu yang akan berpikiran dia rakus. Saat ini Tavisha hanya ingin segera kembali ke Apartemen Meera, merebahkan tubuhnya dengan nyaman di atas tempat tidur.
Mengusap ujung bibirnya, untuk memastikan tidak ada sisa-sisa noda. Perempuan itu lalu berdeham pelan. Menatap Arkan dengan serius.
"Malam itu, saat kita bicara di halaman belakang, kamu bilang kamu sudah mengenal aku. Apa itu benar?" tanyanya memastikan.
"Kenapa?"
"Sejauh mana kamu kenal sama aku?" lanjutnya. Tavisha menghirup napasnya perlahan. "Apa kamu juga tahu kalau aku merupakan anak haram yang dibuang oleh kedua orang tuanya?"
Hening. Pertanyaan Tavisha menggantung di udara tanpa mendapatkan jawaban dari pria di hadapannya.
"Ah, rupanya kamu memang sudah tahu semuanya," ujar Tavisha saat ia sama sekali tidak menemukan keterkejutan dari raut wajah pria itu.