8

145 13 15
                                    

"Aku bukan Allula."

Allula berhenti hanya untuk mengatur napas. Sepertinya luka di lututnya semakin memburuk karena tidak pernah dirawat dengan baik. Ia bahkan selalu mengusir pelayan yang akan membantunya untuk mengganti perban.

Dari arah belakang, Nevan mengehela napas kasar, kemudian dia meraih tangan Allula.

"Sebenarnya ada apa denganmu?"

"Lepas," ucap Allula terkejut dengan perlakuan Nevan padanya.

"Jawab dulu pertanyaanku. Kau mau ke mana?" tanya Nevan dengan nada dingin dan tatapan tajam.

"Pulang."

"Apa kau gila?"

Allula berhasil melepas cengkraman Nevan dari pergelangan tangannya, meski ia kesusahan dan hampir kehilangan keseimbangan. Tanpa mempedulikan ucapan laki-laki itu, Allula kembali mencoba melangkah.

"Kau sendiri yang mengatakan jika aku merepotkan. Jadi biarkan aku pergi."

"Kita tidak sedang berada di Aragas."

"Aku tidak peduli."

Benar. Ini adalah kesempatan besar. Ia harus keluar secepatnya dari sini, dengan begitu ia bisa terlepas dari para bandit ini.

"Tahan, Gadis. Sedikit lagi. Kau hanya perlu keluar dari kastil ini saja," batinnya.

Tidak peduli dengan keringat dingin yang terus mengucur dari kening hingga pelipisnya, Allula tetap menyeret kakinya menuju pintu. Kini ia menggigit bibir bawahnya menahan pusing yang sejak tadi tak kunjung mereda. Tetapi ia harus bertahan. Jika tidak kali ini, ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Pulau ini tentu tidak hanya ada hutan saja. Pasti ada rumah warga lainnya untuk ia meminta bantuan. Dan Allula harus mencari itu.

Karena terlalu bersemangat, Allula tanpa sadar melangkah menggunakan kakinya yang sakit. Hingga akhirnya membuatnya jatuh ke lantai. Ia meringis. Ditambah perutnya yang kembali berbunyi karena meminta untuk segera diisi.

Allula tidak peduli. Ia mencoba untuk bangkit lagi, menyeret kakinya sebab pintu tinggal beberapa langkah saja dari pandangannya. Namun, lagi-lagi ia terjatuh karena kakinya tidak kuat lagi untuk berjalan.

Kakinya bergetar karena sakit yang begitu luar biasa. Meski dulu ia sering mendapatkan banyak luka dari ibu dan kakak perempuannya, tetapi kali ini rasanya sangat di luar kendali Allula. Ia ingat dulu ibunya pernah memukulnya menggunakan sebuah batang besi yang dipanaskan lalu ditempelkan di kulitnya, tetapi semua itu tidak begitu sakit bagi Allula.

Kulitnya memang melepuh, tapi Allula rasa ia sudah terbiasa merasakan itu dan besoknya pasti akan sembuh dengan sendirinya, meski bekasnya masih ada. Tapi luka di lututnya kali ini sakitnya bertahan sampai 6 hari lebih.

"Kau akan membuat lukamu semakin memburuk, Allula," ucap Nevan di belakang sana.

Allula sempat menoleh ke belakang, menatap sinis Nevan yang dibalas laki-laki itu dengan mengangkat sebelah alisnya. "Sudah ku katakan kalau aku bukan Allula!"

Diam-diam ia mengangkat gaunnya hanya untuk melihat perban yang melilit lukanya berubah menjadi merah darah. Allula meringis.

"Terserah kau saja."

Tak ingin menyerah begitu saja, Allula kembali mencoba bangkit. Untuk satu langkah pertama, ia berhasil. Kini tinggal 3 langkah lagi agar ia bisa sampai ke pintu sebelum Nevan mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam gendongan.

"Lepaskan." Nevan tidak menggubris. "Turunkan aku! Kau—"

"Diam. Ini perintah," ucap laki-laki itu lalu mendudukkan Allula di pinggir ranjang. "Jika kau seperti ini terus, kau akan menambah repot semua orang."

Tears in HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang