Wrath

745 80 22
                                    

Semua bermula di siang hari, setelah Sori menjemput Gentar dan Sopan yang masih duduk di sekolah dasar untuk pulang ke rumah bersama.

Pada siang yang terik itu, mereka hanya bertiga seperti hari-hari biasanya. Ketiga kakak sulung mereka sekarang ini tengah menempuh tahun kedua di SMA. Biasanya mereka akan pulang sekitar pukul 3 atau lebih, tergantung kegiatan mereka sepulang sekolah.

Sesampainya mereka di rumah, ketiganya menjalankan aktivitas pergantian pakaian. Ketika Gentar dan Sopan keluar kamar, Sori tengah menghangatkan makan siang yang sudah disiapkan Frostfire tadi pagi.

Ketiganya makan siang bersama dengan damai. Sori dan Gentar saling bertukar cerita mengenai hari mereka sedangkan Sopan lebih banyak mendengarkan dengan seksama, sesekali mengomentari cerita kedua kakaknya.

Setelah makan siang, mereka melakukan kegiatan yang berbeda-beda. Gentar mendapat bagian mencuci piring di hari itu, Sori pergi ke halaman depan untuk berkebun, dan Sopan pergi ke kamarnya untuk mengerjakan PR sekolah.

Anak bungsu itu bersenandung kecil, tangannya dengan lincah menulis jawaban-jawaban dari semua pertanyaan di buku tulisnya.

Tiba-tiba saja, kedamaiannya terusik ketika pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Hanya satu orang di rumah ini yang hobi masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk.

"ADEEEEEKKKK!"

Sopan menaruh pensilnya di samping buku sebelum berbalik menghadap ke arah pintu kamarnya, menyambut Gentar yang menghampiri Sopan dengan senyuman (kesal).

"Siang Abang Gentar,"

"Sopan, abang mau main di rumah temen belakang gor komplek, jangan bilang-bilang Bang Sori aku kesana yah?"

Permintaan Gentar yang terlalu tiba-tiba membuat Sopan mengedipkan matanya bingung.

"Tapi bagaimana kalau Sopan ditanya?"

"Kamu ngurung diri aja di kamar, biasanya gaakan diganggu, lagipula kakak-kakak yang lain kan hari ini pulang telat, nanti setengah 6 abang udah di rumah, abang cuma main lebih lama dikit kok!"

"Kenapa Sopan tidak boleh bilang-bilang?"

Dengan mulut mengerucut, tangan menyilang di depan dada, dan alis yang mengkerut, Gentar menjawab. "Kalau Kak Sori tau pasti nanti disamperin padahal baru jam setengah 5! Terus disuruh cepat-cepat pulang, abang kan sekarang sudah besar! Tingkat yang paling tua di sekolah! Sudah boleh pulang lebih sore!"

"Kata siapa?"

Gentar nyengir dengan percaya diri, menunjuk dirinya sendiri dengan jempolnya. "Kata abang lah!"

Sopan menatapnya ragu dan khawatir.

"Nanti pas pulang abang jajanin permen kesukaanmu deh," bujuk Gentar.

Menghela nafas kecil, si bungsu akhirnya mengangguk. Sia-sia saja melarang kakaknya yang paling keras kepala itu.

"Baiklah, hati-hati mainnya abang,"

Gentar tersenyum senang lalu mengacak rambut adiknya.

"IH ABANG! SOPAN BARU SISIRAN!"

Mengabaikan protes Sopan, Gentar hanya tertawa.

"Makasih yah! Aku main dulu!"

Tanpa menunggu lagi, Gentar angkat kaki dari kamar Sopan, membuat empunya kamar menatap sebal ke arah pintu yang masih terbuka sepeninggal kakaknya.

Meski bukan yang pertama kali, tetap saja menyebalkan. Ia sampai lelah mengingatkan Gentar untuk menutup pintunya kalau keluar kamar. Dari luar, bisa terdengar teriakan Gentar dan Sori yang bersahut-sahutan.

Silent TreatmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang