Bergaya apa adanya

3 0 0
                                    

Sejak dulu kedua orangtuaku selalu menanamkan kemandirian dan kesederhanaan. Disaat teman-teman sekolah membawa kendaraan entah itu motor atau mobil, aku berjalan kaki. Sebagai seorang perwira Angkatan Darat berpangkat Kolonel, tentu saja papa memiliki ajudan serta sopir. Tetapi aku memilih untuk berjalan kaki. Bahkan ketika melamar pekerjaan dan wawancara kerja, aku naik turun angkutan umum ditengah cuaca kota Semarang yang begitu terik. Aku juga tidak bergantung dengan Randy, lelaki yang menjadi kekasihku 3 tahun ini. Randy bukan anak dari keluarga berada. Motornya hanyalah motor kuno 2 tak yang ia beli dari pekerjaan sampingannya sebagai karyawan koperasi di kampusnya. Kini iapun sudah bekerja sebagai operasional lapangan di sebuah perusahaan logistik. Ia mengganti motor kunonya dengan motor besar impiannya.

Aku dan Randy bukan seperti pasangan pada umumnya yang menghabiskan uang untuk kuota data, baju atau sepatu branded. Bahkan tas yang aku gunakan ini seharga tidak lebih dari 100 ribu rupiah yang aku beli di pasar Johar. Kami mempunyai tabungan bersama untuk masa depan kami. Meskipun hal ini sempat dicemooh atau mendapat pertentangan entah itu dari teman bahkan keluarga kami sendiri. Kata mereka, kami baru pacaran, seumur jagung pula. Apa yakin kami akan menikah? Jawaban kami, ya hidup itu harus ada cita-cita, sebuah komitmen pula. Kedepannya kami ingin menikah, punya rumah mungil dan sederhana, memiliki anak, hidup bahagia. Makanya kami 'menunda' kesenangan kami untuk sekedar makan berdua di restoran mewah, atau barang-barang mahal yang fungsinya tak lain untuk mengesankan orang.

Randy yang membujukku untuk membeli motor sendiri dari hasil gajiku. Padahal kedua orang tuaku melarang aku untuk mengendarai atau bahkan membonceng motor. Motoe itu roda dua, kesenggol sedikit jatuh sudah..beda dengan kendaraan roda 4. Dengan sigapnya, Randy menelpon Papa, untuk meminta ijin agar aku diperbolehkan membeli motor. Motor itu bukan untuk Randy, melainkan memudahkanku dalam bekerja.

Sebelumnya 1 tahun pertama aku bekerja di perusahaan ekspor impor ini, aku selalu naik bis dan berjalan kaki sekitar 2 kilo menuju kantorku. Kenapa tidak naik ojek online saja? Tidak lain karena aku harus memangkas pengeluaran demi menabung, terlebih lagi kini harus membayar cicilan motor yang besarnya separuh dari gajiku. Untung saja aku masih tinggal dengan orang tua. Biaya hidup masih bisa ditangani.

Motorku matic berwarna biru. Kini kemana-mana aku bersama dengan si biru ini. Papaku bersikeras untuk membayar cicilannya tetapi aku menolak. Mereka sudah cukup untuk menghidupiku sampai dengan sekarang ini dan aku tidak mau membebani mereka. Aku tahu, perekonomian saat ini sulit, harga-harga melambung tinggi. Dan aku tidak boleh menjadi beban siapapun.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 17 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

be toughWhere stories live. Discover now