02 : Bandung

1 0 0
                                    

"Parah sih, parah banget Lan!"

Mendengar suara Dira yang mengeluh dari layar handphone nya, Bulan terkekeh pelan. "Yang bener, Naira lolos lagi?"

Dira mengangguk. "Iya. Pas dia selesai record terus dia ke kamar mandi, gak lama Bu Astri dateng! Gila kan ya, tuh cewek lolos terus! Heran gue!"

"Lo lagi ngomongin siapa?" terdengar suara cewek yang sepertinya juga bertanya pada Dira. Namun Dira langsung membalasnya dengan ketus.

"Gue lagi ngomongin elo. Nih, laporan ke Bulan!" setelah itu Dira terkekeh pelan. Dan detik itu juga, handphone Dira di tarik seseorang dan menampilkan wajah seorang cewek, Naira!

"Halooo Bulan saayaaaaang! Lo di Bandung ya?"

Bulan mengangguk.

"Jangan lupa loh, oleh-oleh buat kita-kita yaa, Bulaaan!" kembali Naira berteriak layaknya seriosa. Bahkan hal itu membuat Bulan terkekeh.

"Iya, Nai. Nanti aku usahain beli ya, kalo gak lupa."

Saat ini Bulan ada di sebuah warung di pinggir jalan. Karena terlalu tertekan dengan suasana di dalam rumah, ia nekat pergi ke luar—tentu saja dengan izin Ayahnya. Memang merekan memperlakukan Bulan dengan baik, tapi sepertinya tidak dengan Linda yang jutek dan dingin. Linda memang tidak memperlakukannya dengan kasar, tapi sikap Linda dan perkataannya yang lumayan menusuk ke hati, ia memilih mundur dari pada telinganya panas mendengar ocehan Linda.

"Neng, mau nambah lagi pisang gorengnya?"

Bulan menyingkirkan handphonenya dari wajahnya kemudian tersenyum lalu menggeleng. "Enggak Bu." jawabnya. "Tapi saya boleh di sini dulu kan?"

"Boleh atuh Neng." jawab si Ibu warung dengan ramah.

Bulan menghela nafas lega kemudian kembali melirik layar handphone nya, di mana Dira sedang mengobrol dengan seseorang. Beberapa detik kemudian, Dira kembali menoleh ke layar handphone. "Lo di luar, Lan?"

Bulan mengangguk. "Iya, aku gak kenal mereka soalnya. Jadi agak minder gitu."

Dira menghela nafas pelan sambil memutar bola matanya. "Haduh. Kalo gue jadi sodara lo, gue pastiin gue bakal ngurung lo." setelah itu Dira menyedot segelas es blender yang berada di atas meja. "Eh, gue jadi rajin nih lo gak ada. Gak ada yang nyatet soalnya."

Bulan terkekeh mendengar keluhan Dira lagi. "Gak apa-apa dong Dir. Lagian sesekali nyatet tanpa aku."

"Aaaah, Bulan, bikin kesel deh." Dira berteriak manja, tapi wajahnya terlihat seperti meledek Bulan. "Eh, Lan, udahan dulu ya, ada guru nih." sebelum menutup telepon, Dira masih sempat menyedot minumannya dan menyembunyikanya di bawah kursi—khas Dira ketika ia malas ke luar kelas untuk membuang sampah.

Untuk kesekian kalinya Bulan menghela nafas pelan. Seolah seperti setengah nyawanya menghilang. Ia menunduk, menatap es teh manis tanpa selera. Ia mengigit bibirnya pelan. Butuh waktu lama bagi Bulan untuk terbiasa dengan saudara-saudaranya dari Bandung. Jika di tambah saudara Ayahnya dari Jawa—Ah! Bulan ingin berteriak sajaa!!

"Neng, baru di sini ya?" Ibu warung itu mengajak ngobrol. Bulan mengangguk sebagai jawaban. "Asal Eneng dari mana?"

"Dari Bogor, Bu."

"Pantes atuh, tapi Bogor sunda lain? Ibu kira Eneng orang Jakarta."

Bulan nyengir. Ia memang kadang di sangka orang Jakarta, mungkin karena Ayahnya merupakan campuran antara Jakarta-Jawa. "Enggak, Bu. Tapi Ayah saya orang Jakarta Jawa."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 20 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Rembulan di Dalam Samudra (On Going)Where stories live. Discover now