"Habis ini kita berangkat loh. Kok kamu belum siap?"
Suara berat Junhee adalah suara pertama yang Nahee dengar pagi ini. Kakak laki-lakinya itu terlihat mengusak rambutnya yang basah—menandakan bahwa ia baru selesai mandi.
"Males ah," acuh Nahee, ia kembali memusatkan perhatiannya pada televisi.
Junhee tersenyum sumir mendengar jawaban adiknya. Tadi malam, ibu mereka menelepon, berkata bahwa dia rindu dengan Nahee. Sebagai kakak yang baik, Junhee memutuskan untuk mengajak Nahee ke rumah ibu mereka akhir pekan ini.
Kedua kakak beradik itu memang tinggal di rumah tersendiri. Orang tuanya berpisah, sekarang mereka memiliki keluarga masing-masing. Seharusnya Nahee bersama ibunya dan Junhee bersama ayahnya. Namun, Junhee lebih memilih hidup sendiri daripada harus mendengar ayahnya dipanggil 'Ayah' oleh orang asing. Sedangkan Nahee yang tidak ingin kehilangan kakak laki-laki yang amat ia sayangi pun memaksa untuk ikut. Nahee juga sebenarnya ogah tinggal satu atap dengan keluarga baru ibunya.
"Dek, walau kamu nggak suka sama keluarga baru Bunda, kamu nggak boleh benci sama Bunda. Kamu harus inget, Bunda yang ngelahirin kita, Bunda yang ngerawat kita."
Nahee terdiam, ucapan Junhee benar. Walau sebenci apapun, semarah apapun Nahee dengan orang tuanya yang tidak memikirkan dirinya dan Junhee, yang lebih mengutamakan keluarga barunya, mereka tetaplah orang tua Nahee. Merekalah yang dulu merawat mereka, menyayangi mereka sepenuh hati. Dulu... sekarang tidak lagi.
Junhee mengusap bahu Nahee. Junhee tahu betul perasaan adiknya. Kekecewaan yang mendera Lee Nahee. "Mau kan, ke rumah Bunda?"
Nahee mengangguk, kemudian menggeleng, "Mau kok, tapi jangan sekarang, Kak. Ada suaminya, aku nggak mau dengar Bunda dipanggil 'Bunda' sama orang lain..."
"Yaudah, kalau gitu... minggu depan?" Nahee mengangguk.
Junhee tertawa melihat tingkah menggemaskan adiknya itu. Kemudian berlalu setelah mengacak rambut Nahee hingga berantakan.
"Kakak sibuk nggak?" Nahee bertanya sebelum tubuh Junhee hilang ditelan pintu kamar. Membuat Junhee menghentikan gerakannya.
"Kenapa? Mau ngajak jalan? Tumben, biasanya lebih milih main sama Soojin daripada quality time sama Kakak?" Junhee menaik-turunkan alisnya.
Nahee mendecak, "Ya maunya gitu! Tapi Soojin aku telpon nggak bisa. Gimana dong?"
"Sibuk kali. Tapi Kakak juga sibuk. Habis ini mau ngerjain tugas, numpuk dari kemarin. Main sendiri dulu ya, Dek!" Junhee tergelak sebelum masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, Junhee segera meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang. Ia tak mungkin setega itu membiarkan Nahee dilanda bosan seharian.
"What's up, Brad! Tumben nelpon, kesambet apani?"
Suara menyebalkan Minjae langsung terdengar saat panggilannya diterima.
"Buruan ke rumah," datar Junhee.
"Wow! Lo mau ngajakin gue jalan kah?"
"Bukan gue, Nahee."
"Hah?! Apa? Nahee ngajak gue dating gitu?"
Sungguh, Junhee sangat ingin menendang cecunguk itu sekarang. Tapi sayangnya Minjae terlalu jauh untuk Junhee aniaya secara langsung. Jadi ia hanya bisa menghela napas.
"Bukan, tolol. Gue minta tolong, ajakin Nahee main. Kasian dia sendirian di rumah,"
"Lah, emangnya lo kemana?"
Minjae sialan. Dia hanya tinggal datang ke rumah dan mengajak Nahee ke luar. Kenapa dia banyak tanya sih? Walau begitu, Junhee tetap meladeni Minjae. "Gue nugas."

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Life
Teen Fiction"Aku tidak berguna, aku benci diriku." Pernahkah gagal merasa dalam kehidupan? Pernahkah kalian merasa dunia begitu kejam? Pernahkah kalian... membenci diri sendiri? Dulu, Hyejin merasa dirinya telah berada di ambang kehancuran saat menyaksikan ibu...