01. AWAL

171 12 1
                                        

Bugh!

Bugh!

Bugh!

"Woi anjing, sini lo"

Pukulan-pukulan ardan mendarat dengan brutal, teriakan-teriakan menggema di antara gemuruh tawuran. Darah berceceran, pemandangan biasa baginya. Sebagai pemimpin geng motor, Ardan selalu mengikuti tawuran. Kekerasan adalah dunianya, dan ia memahaminya dengan baik. Kehidupan keluarganya yang hancur setelah kedua orang tuanya berpisah, sejak saat itu ardan telah menjadi sosok yang dingin, keras kepala, dan toxic. Ia tak pernah merasakan kasih sayang dari siapapun, ia hanya mengenal kekerasan dan kepuasan sesaat.

Di tengah hiruk pikuk tawuran, sesuatu menarik perhatiannya. Di balik tumpukan sampah, ia melihatnya. Seorang pria muda, berjongkok ketakutan, tubuhnya gemetar, dan air mata mengalir di pipinya. Pria itu terlihat sangat polos dan rapuh, sebuah kontras yang tajam dengan brutalitas di sekitarnya.

Ardan biasanya tak peduli dengan orang lain. Ia menikmati kekacauan, menikmati rasa penderitaan orang lain. Tapi, pria yang menangis itu berbeda. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya, sesuatu yang membuatnya ragu untuk mengabaikannya. Ia merasa tertarik, tapi juga jijik pada kelemahan yang ditunjukkan pria itu. Sifatnya yang toxic membuatnya ingin menghancurkannya.

Ardan mendekati pria itu, tapi bukan untuk menolong. Ia ingin melihat lebih dekat, menikmati rasa takut yang terpancar dari pria itu.

"Dasar lemah" Ujar ardan, suaranya dingin dan menusuk. Ia menikmati ketakutan yang terpancar dari mata pria itu.

Pria itu mencoba bicara, tapi hanya isakan yang keluar.

Ardan berjongkok dan mencengkeram dagu pria itu, memaksa pria itu menatapnya.

"Liat gue" desis ardan, suaranya serak, Ia melihat ketakutan yang serius di mata pria itu, bukan ketakutan palsu seperti yang biasa ia lihat dari musuh-musuhnya. Ketakutan ini berbeda. Lebih rapuh.

Pria itu gemetar hebat, bibirnya bergetar tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Air mata terus mengalir di pipinya, membasahi pipinya yang lembut itu. Ardan merasakan sesuatu yang aneh di dadanya, sesuatu yang ia sendiri tak mampu memahaminya.

"Sangat cantik" Ardan sambil mengusap air mata pria itu, dengan mata yang berbinar-binar. Sejenak, Ardan melepaskan cengkeramannya. Ia mundur selangkah, memperhatikan pria itu dengan tatapan yang tak biasa. Dalam beberapa saat, kebisingan tawuran seakan meredup, hanya tersisa suara napas mereka berdua yang terdengar. Ardan merasa tertekan. Ia terbiasa dengan kekerasan. Tapi di hadapan pria ini, ia merasa seperti tidak tega.

"Woi ardan, lu baik-baik aja kan?"
Ardan mengabaikan panggilan anggota gengnya, fokus sepenuhnya tertuju pada pria yang sedang menangis itu. Ia melihat ketakutan yang masih terpancar dari matanya, ketakutan yang berbeda dari ketakutan yang biasa ia lihat dipertempuran. Ketakutan pria itu rapuh. Mungkin, untuk pertama kalinya, Ardan melihat kelemahan yang bukan miliknya sendiri. Dan entah kenapa, itu membuatnya tidak nyaman.

"Nama kamu siapa?" tanya arnan, suaranya lembut tidak seperti biasanya.

Pria itu masih gemetar, tapi ia mencoba menjawab, suaranya terbata-bata, "R-Rey"

"Rey" Ardan mengulang nama itu, mencoba mengingatnya.

"Rey," Ulang ardan lagi, kali ini suaranya pelan, hampir seperti sebuah bisikan. Ia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya, sesuatu yang ia sendiri tak mampu memahaminya. Ini bukan rasa kasihan, bukan simpati, tapi sesuatu yang lebih... kompleks. Sesuatu yang membuatnya ragu untuk melakukan apa yang biasanya ia lakukan.

MILIK ARDAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang