🐱🐱

3 4 0
                                    

Hohoho ini hanya cerita pendek yang benar-benar pendek. Dibuat sebab gabut yang melanda. Tapi tolong tinggalkan jejak apabila kawan mampir ke lapak ini.

Please enjoy the story :>
***

Satu hari berlalu dengan lambat. Aku benci melihat refleksi diriku dalam air kubangan ini. Kering dan lusuh, si gelandangan jalan. Aku ingin mengutuk seluruh benda di dunia, tidak peduli hidup atau mati, baik pria, wanita, jantan, betina, anak-anak maupun dewasa. Perasaan baru kemarin aku merasakan apa itu cinta. Dan baru kemarin aku menerima afeksi menyebalkan sekaligus membuat nyaman. Tapi apa? Semuanya sama saja.

Enyah kau pencuri!

Sebenarnya apa salahku? Aku tidak berbuat dosa layaknya lumba-lumba yang bermain dengan ikan buntal. Kelakuanku juga tidak seperti para bonobo. Aku hanya mencoba bertahan hidup dengan seekor ikan asin kecil yang hanya terdiri atas kepala dan tulang.

Tubuhku perlahan kehilangan keseimbangan, sambil terseok-seok aku menyeret kaki. Sial, aku lapar sekali.

Aku jadi belajar untuk tidak mengusik nenek penyihir tua, sang penunggu bangkai-bangkai. Rasa-rasanya aku terbakar oleh air yang telah diberinya mantera.

Sakit? Jangan tanya, setengah tubuhku telah kebas dan melepuh. Mataku sudah berkunang-kunang, pun suara yang sempurna habis sejak perempatan satu kilo di belakang.

Aku yang telah mati sebelumnya, bermain bersama wanita bergaun merah, hanya berdiam membiarkan kuku tajamnya mengelus punggung dan kepalaku. Wanita itu terlihat angkuh menopang kaki kiri sembari menghisap gulungan putih. Entah apa itu, yang jelas, jika bercampur dengan wewangian murah dadaku jadi penuh sesak. Darah di alat pengucapnya berkilau akibat remang lampu. Aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi kurasakan amarah dari remasannya. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengerang ketakutan.

Dia melempar tubuhku setelah berhasil meremukkan benda kotak yang mengeluarkan suara pria. Satu orang lainnya tidak berbaju benar -entah siapa- dengan mudah mengangkat ku. Dan menggantikan usapan wanita bergaun merah tadi, lebih lembut. Munafik jika berkata aku kesal. Kehangatan dari nona tidak berbaju benar -entah siapa- ini menyelimuti diriku, buaiannya memabukkan.

Cih, surga yang fana. Karena salah seorang wanita mengenakan kaos abu-abu adalah cerminan iblis penghuni neraka terdalam. Entah berapa lama dan apa yang mereka bicarakan, aku hanya menangis ketika mereka secara bergantian melayangkan sepatu tinggi ke tengkorak ku.

Mungkin bosan, wanita bergaun merah mengambil botol kaca, ancang-ancang saja aku menyalak marah. Tapi wanita tidak berbaju benar menahan mulutku agar terbuka, dan wanita bergaun merah memaksa masuk cairan aneh yang membuat mereka gila.

Wanita berkaos abu-abu hanya terkikik sibuk memegang benda kotak yang bersinar terang. Terakhir yang aku ingat, rasa menyengat di tenggorokan berhasil mengurangi satu inti kehidupanku lagi.

Aku terbangun dari tidur siang dengan berganti wujud, spontan bersyukur bisa melihat semburat matahari timur. Diantara berisik benda-benda yang bergerak cepat, aku harus menepi jika tidak ingin diinjak-injak.

Jujur saja aku terlalu bodoh untuk mengetahui dimana keberadaanku, intinya aku berada di sebuah lahan kosong. Sungguh tempat ini bisa menjadi markas yang aman dari kejaran raksasa hitam yang selalu berdesing dan melindas apapun yang menghalangi.

Sebelum raksasa tua bangka itu datang. Aku tidak tahu apa yang telah beliau lalui, sepertinya beliau sama seperti diriku -terluntang-lantung dengan fisik dan hati yang kebas-.

Haruskah aku bersyukur? Setelah aku bertemu dengan beliau, penderitaan kami sama-sama hilang. Rasa sakit di tubuhku sempurna lenyap. Aku hanya pasrah, di kehidupan kali ini yang sangat singkat, kuharap beliau sembuh dari kebodohannya.

Anehnya ketika membuka mata untuk sekian kali, aku tengah bermanja dengan bantal empuk dan mainan-mainan lucu, lantas aku terbang menuju ke claw machine. Aku sempat melihat pantulan diriku sendiri yang berganti menjadi seonggok daging kecil. Ah, rupanya ingatan saat aku berusia beberapa hari.

Setelah sadar akan keadaan, aku menjerit jeri di dalam kurungan kaca yang beralaskan tiga alumunium yang bergerigi tajam. Ayah-ibu yang kukira pengasuhku buta dan tuli, berusaha memohon kepada kakak-kakak pun percuma. Hingga wujudku berubah menjadi jus strawberry dan menjadi santapan mata seluruh umat manusia.

Ah! Entahlah, saya sudah lelah mencari-cari alasan. Bisakah Engkau menjelaskan saja, bagaimana akhirnya saya berada dipangkuan-Mu?

Engkau tersenyum mengelus punggungku lembut. Sejenak cahaya-Mu membuat gemetar, lantas rasa nyaman menjalar. Ah, apakah kini saatnya aku berhenti mengulur waktu untuk segera hidup dan kembali mati? Engkau juga banyak menjanjikan kemuliaan dan kemewahan jika aku mampu bersabar.

Aku tertawa, karena pada akhirnya dengan lagu yang sama aku terjerat dengan manisnya janji.

Pupilku memandang dengan skeptis, maka diriku berakhir disini, di sebuah pasar penuh kubangan air sembari mengeong menahan lapar dan haus.

Seharusnya saya tidak tamak.

***
23.12.11
Edit : 24.06.23

Cattus MortemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang