Aku terbangun pukul 05.00 pagi. Entah aku yang terlalu bersemangat karena ajakan Jane atau tidak tidur nyenyak semalam.
Setelah merapikan tempat tidur aku langsung mandi dan mengenakan jeans juga kaos lengan pendek, aku mengikat rambutku. Mematut-matut di depan cermin memastikan ikatan rambutku rapi.
Mama sudah membuatkan sarapan untuk kami. Lalu kami memakan sarapan di meja makan–sambil berbincang-bincang ringan. Mama bertanya padaku–aku hendak ke mana pagi-pagi sudah rapi– aku menjawab akan pergi dengan Jane. Mama mengangguk.
Jane memintaku menunggu di taman setelah jam 7. Sambil menunggu jam 7 aku menyiram tanaman di halaman rumah.
Hingga jam 7 telah tiba aku bergegas pergi menuju taman. Tidak membawa apapun, aku hanya membawa ponselku. Jane yang memintaku, cukup bawa diriku saja katanya. Lagipula kami tidak akan bermain jauh.
Setelah sampai di taman aku duduk di bangku yang kosong di bawah pohon. Memainkan ponselku di sana sambil menunggu kedatangan Jane.
Lima menit berlalu, aku melihat Jane datang dengan sepedanya. Membunyikan lonceng sepedanya–mendekat padaku sambil tersenyum. Kini Jane di hadapanku–masih dalam posisi menaiki sepeda.
"Lama menunggu?" Tanya Jane. Aku menggeleng.
"Tidak, aku baru sampai di sini lima menit yang lalu." Kataku
"Baiklah, ayo naik!" Perintah Jane. Aku duduk di jok belakang– Jane membonceng ku.
"Sudah siap?" Jane menoleh ke belakang. Aku mengangguk.
"Hati-hati Jane."
"Ya, tenang saja."
Jane mengendarai sepedanya di jalur sepeda. Ada juga beberapa orang berlalu lalang yang sedang bersepeda di sana.
Aku memeluknya dari belakang ketika ia mengayuh sepeda dengan cepat secara tiba-tiba saat jalanan sepi. Aku memukul punggungnya.
"Pelan-pelan!" Ujarku. Jane tertawa.
"Maaf." Ia memelankan kecepatan sepedanya. Kami melewati sawah-sawah, ini jalan menuju bukit. Ya, aku sudah hafal, Jane pernah mengajakku ke sini–atau sering.
Jane menghentikan sepedanya. Aku turun, melihat Jane memarkirkan sepedanya di bawah pohon.
Ia menggandeng tanganku. Kami berjalan di kaki bukit mengikuti jalan setapak. sudah kuduga Jane pasti mengajakku ke sini. Kami mendaki bukit yang tidak terlalu tinggi. Akses menuju puncak bukit cukup mudah dilewati. Kami berjalan santai.
"Lihat di sana." Jane menunjuk ke atas pohon yang menjulang tinggi. Aku mengikuti arah pandangan yang di tunjuk oleh Jane.
"Sarang burung," kataku setelah melihat apa yang ditunjuk oleh Jane. Jane mengangguk.
"Tidak ada yang bilang itu sarang tikus." Jane terkekeh pelan. Aku menyikut lengannya.
"Sarang burung apa itu," tanyaku. Jane mengangkat bahunya–tidak tahu.
Singkat cerita kami sampai di puncak bukit. Aku duduk di atas bebatuan yang teduh, menikmati semilir angin. Memandang hamparan laut yang terlihat jelas dari atas sini.
"Ini yang kamu bilang 'suatu tempat' itu. Kenapa mengajakku ke sini?" Bertanya pada Jane, aku sedikit menekan kata 'suatu tempat.'
Aku melihat Jane yang sedang sibuk dengan teropongnya. Hei, sejak kapan dia membawa teropong? Aku tidak menyadarinya.
"Sejak kapan kamu bawa teropong itu?" Tanyaku yang tidak dijawab oleh Jane. Ia masih sibuk mengarahkan teropongnya ke arah laut. Aku mendengus, berjalan mendekati nya.
"Kamu sedang melihat apa si?" Tanyaku lagi. Jane menarik lenganku untuk mendekat padanya.
"Lihat ini!" Ia menyerahkan teropongnya padaku. Aku mengambil teropong itu, mengarahkannya ke arah di mana Jane menginstruksikannya.
"Arah jarum jam angka dua, sedikit ke bawah." Aku menurut, dan melihat apa yang dimaksud olehnya.
"That's a dolphin!" Ujarku antusias. Melihat kawanan lumba-lumba yang muncul di permukaan air laut. Aku tersenyum lebar. Jane mengangguk.
"Sekarang coba arahkan teropong itu ke pantai."
Aku menurut, mengarahkan teropong itu ke pantai di mana kami sering bermain di sana.
"Banyak burung," gumamku.
Aku melepas teropong dari pandangan ku, menyerahkannya pada Jane.
"Nih! Terlalu lama menggunakan benda itu membuatku pusing."
Jane menerima teropong itu. Tersenyum melihatku yang berakting seolah pusing. Ia tertawa.
"Dasar."
Aku duduk di bawah pohon, bersandar. Jane duduk di sampingku, bersandar pada bahuku. Aku mencoba menghindarinya namun Jane tetap mendekati ku dan tetap bersandar.
"Kamu berat, tahu!" Aku mendorongnya.
"Kamu saja yang terlalu kecil," ujarnya.
Jane menarik lenganku, menyandarkan kepalaku di bahunya.
"Jane," aku memanggilnya yang hanya dijawab oleh gumaman tidak jelas.
"Kalau aku membangun rumah di atas bukit ini bagus tidak?" Tanyaku bercanda.
"Ya, bagus sekali. Kalau hujan rumahmu yang akan basah duluan," jawab Jane dengan nada seolah mengejekku. Aku tertawa.
"Lebih bagus kalau membangun rumah di sana." Jane menunjuk ke tengah laut.
"Iya, bagus sekali ya. Nanti kamu makan ikan setiap hari."
"Tidak hanya ikan yang ada di sana. Ada cumi-cumi, gurita, ubur-ubur."
"Ya, terserah. Kamu juga bisa makan kuda laut," kataku yang disambung oleh tawa Jane.
Setelah itu hening. Angin berhembus kencang, untung saja rambutku di ikat jadi tidak berantakan. Hingga akhirnya Jane yang membuka suara.
"Anna, kamu ingat tidak?"
Aku menoleh padanya, menggeleng.
"Tidak, aku tidak ingat. Kamu belum mengatakan apapun," kataku malas.
"Saat kita pertama kali ke pantai, apa yang terjadi di sana?"
Aku menatap pantai, mengingat-ingat. Menggeleng–tidak tahu.
"Apa?"
"Kamu di capit kepiting, kan?" Jane tertawa. Aku memutar bola mataku.
"Lupakan hal itu. Memalukan," gumamku.
Jane beranjak dari sana, mengajakku pulang. Aku mengangguk, mengikutinya dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always There For You.
Teen Fictionaku tidak pernah berhenti mengucap syukur atas keberadaan dirimu. terimakasih telah hadir di hidupku, terimakasih untuk semua hiburanmu, terimakasih atas semua perhatian mu. hal paling indah di dunia ini adalah pertemuan denganmu. terimakasih telah...