Saat itu, hujan mengguyur kota. Membasahi trotoar yang ku pijak. Pohon-pohon basah, air menggenang di jalan yang berlubang. Hujan begitu deras seolah menangis histeris meratapi nasib. Dan ya, aku merasa langit mengasihani nasib ku yang malang.
Aku berjalan dengan langkah gontai dibawah hujan, menyamarkan air mataku yang tak kalah deras mengalir di pipi. Aku tidak peduli betapa berantakannya penampilanku, rambut yang basah, celana yang kotor oleh lumpur, mata yang sembab, itu perpaduan yang buruk. Aku terus menyusuri trotoar entah kemana tujuannya, aku tidak peduli dengan semua yang ada di sekitarku, aku menikmati tiap tetes air dari langit yang membasahi tubuhku. Awan di sana gelap, terdapat kilatan-kilatan yang sesekali membuat terang dan petir bisa menyambar kapan saja.
Aku meratapi nasibku dibawah hujan betapa menyedihkannya nasibku ini. nafasku tercekat, dadaku terasa sesak mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
"aku membencimu!"
"dasar penghianat!"
"aku kecewa padamu!"Kejadian itu, yang baru saja terjadi beberapa saat yang lalu, selalu terbayang-bayang di benakku. Seperti sebuah rekaman video yang diputar berulang kali. Bayangan mama yang menampar ayah, ayah yang diam tertunduk seolah tidak memiliki kesalahan apapun–padahal dia sudah mengkhianati ibuku, wanita yang melahirkan ku.
Aku merasa sakit hati, kepalaku merekam jelas setiap detik saat mereka bertengkar, mama yang mengungkapkan kekecewaannya terhadap ayah, dan ayah yang berusaha mengelak atas segala tuduhan yang mama lontarkan. Aku tidak sanggup melihat mereka yang sedang bertengkar, dengan itu aku nekat keluar dari rumah menerobos hujan lebat, menghindari pertengkaran mereka. Hatiku sakit saat mama mengatakan ia ingin berpisah dengan ayah, itu mungkin keputusan yang baik, aku tahu apa yang dirasakan oleh ibuku, bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang selama ini dicintainya.
Aku tidak sanggup membayangkan wajah mama yang begitu sedih saat mengatakan ia ingin bercerai. Aku sungguh tidak sanggup. Aku menumpahkan seluruh air mataku–yang entah terlihat atau tidak karena derasnya air hujan. Rasa sesak yang begitu mendalam di dadaku, seolah hatiku telah remuk dihantam oleh batu besar berkali-kali dengan menyakitkan.
Aku berjalan terhuyung, kakiku terasa lemas dan aku hampir terjatuh. Hingga pada saat aku kehilangan keseimbanganku dan hampir terjatuh seseorang menarik lenganku, menahan bahuku dan menguatkan tubuhku agar tidak terjatuh. Ia membawaku ke bawah pohon rindang dengan payung di tangannya yang lain, duduk di akar pohon yang keluar dari tanah. Jane- ia adalah sahabatku, sosok yang kini duduk di sebelahku, laki-laki dengan rambut berantakan yang menjadi ciri khasnya, menatapku yang sedang menunduk. Kedua tangannya menangkup pipiku, matanya menatap mataku seolah bertanya apa yang terjadi padaku. Tatapannya dipenuhi rasa cemas dan penuh kekhawatiran.
"Kenapa kau di sini, saat hujan? Apa yang terjadi padamu?" Pertanyaannya menggetarkan hatiku, bayang-bayang orangtuaku yang bertengkar berputar kembali di kepalaku. Aku tidak sanggup menjawabnya, air mataku kembali mengalir di pipiku. Tanganku bergetar, entah karena kedinginan atau terlalu menahan isakan tangis. Aku menggeleng, menunduk, menekan dadaku yang sedikit sesak. Isakan tangis keluar begitu saja.
Jane menarikku ke pelukannya, membiarkanku menangis di dalam dekapannya –aku yakin bajunya pasti basah karena air mataku dan bajuku yang basah. Aku terisak, Jane membelai lembut kepalaku. Aku meremas bajunya untuk menyalurkan rasa sakitku ini, mengeratkan pelukannya.
"Tenangkan dirimu." Aku tidak tenang setelah mendengar kalimatnya, aku semakin terisak dan semakin menyakitkan. Jane mengeratkan pelukannya, aku mengatur nafasku. Aku melepaskan pelukannya dan mengusap air mataku.
"Katakan padaku, apa yang terjadi?" Ia bertanya dengan lembut, menyentuh bahuku seolah mengharapkan jawaban dariku. Aku menarik nafas dan mulai menceritakan semua, aku mengeluarkan semua isi hatiku. Dan lagi, air mataku kembali meluncur. Jane kembali menarikku kedalam pelukannya, tidak mengatakan apapun setelah mendengar ceritaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always There For You.
Novela Juvenilaku tidak pernah berhenti mengucap syukur atas keberadaan dirimu. terimakasih telah hadir di hidupku, terimakasih untuk semua hiburanmu, terimakasih atas semua perhatian mu. hal paling indah di dunia ini adalah pertemuan denganmu. terimakasih telah...