Kalau harta dijadikan tolak ukur sebuah perasaan cinta, mungkin karna itulah keluarganya kini berantakan.
Rumah itu berisik sejak ekonomi mereka tidak lagi sama seperti dulu.
"...kalau kamu tetap ingin hidup seperti kemarin."
Iya. Lira memang ingin hidup seperti kemarin. Kemarin yang selalu membuatnya ingin selalu kembali ke rumah ini. Kemarin yang membuatnya serasa dicintai begitu indah. Kemarin, kemarin dan kemarin dengan hal baik yang selalu ia terima.
Hidup yang dulu penuh makna.
Kini? Kini semua terasa kosong. Hampa dan asing.
Bahkan bagi Lira, hidup yang kini adalah sebuah kutukan.
Tapi kemarin itu juga ada hal buruknya. Lira tidak mau perasaannya hancur lebur seperti kemarin. Saat ia yakin bahwa Haikal akan selalu di sampingnya. Ia berikan seluruh cintanya, namun Haikal memberi racun untuk hidupnya.
Tolak ukur cinta Haikal untuk Lira mungkin sama yang terjadi kepada orang tuanya kini.
Soal Kara, ia tidak tau harus mengukur pakai apa.
Mungkin emang tidak ada yang bisa diukur.
Gadis itu tidak pernah jatuh cinta karna sebuah harta. Dahulu bersama Haikal juga begitu.
Lama sekali ia bisa kembali mendapatkan perasaan jatuh cinta. Walaupun ia masih ragu untuk bisa yakin, bahwa ia bisa dicintai seperti kemarin. Lira takut kalau ia akan diperlakukan seburuk itu lagi.
Udara malam semakin dingin menerpa kulit putihnya. Gadis itu melamun didepan jendela kamarnya.
Sibuk memikirkan persoalan hidup yang tidak ada habisnya.
Semua sudah terlelap. Tinggal ia sendiri yang masih berisik isi kepalanya. Matanya tidak mau terkatup.
Dalam hening yang membuat hatinya menjadi pilu, gadis itu berdiri. Meraih ponsel yang terus menerus bergetar di meja belajarnya. Ia gulirkan layarnya. Seutas pesan itu membuatnya mengerinyitkan dahinya.
Kara. Lelaki itu mengirim pesan ditengah malam.
Sankara
Aku bisa minta tolong?
Teman kamu bukan aku sendiri, kan?
Maaf, Lira.
Pesan dari Kara itu ia abaikan begitu saja. Sungguh ia tidak berminat untuk membantu Kara. Kepalanya mendenging. Pusing sekali memikirkan hidupnya sendiri.
🧩
Suara jangkrik mengalun begitu nyaring. Saling bersautan satu sama lain. Baginya ini adalah sebuah irama yang sangat memilukan.
Membuktikan bahwa betapa sunyi hidupnya kini.
Hal itulah yang tiap hari ia rasakan di rumah ini. Tidak ada lagi suara bunda di setiap sisinya.
Sendirian di dunia ini ternyata melelahkan.
Kemarin, Kara ingin sekali hidup seperti kemarin. Hidup saat ada bunda.
Dunianya kosong sekali sejak ditinggal mati bunda.
"Bunda....rindu." rintihnya.
Lelaki itu bersembunyi dibalik selimut tebal kepunyaan mendiang bunda. Tubuhnya menggigil.
Saat seperti ini rasanya ingin sekali dipeluk bunda. Hangat yang menguar dari tubuh bunda mampu membuat tubuh mengigilnya hilang.
Namun malam ini, tubuh itu tidak akan pernah ada untuk meredakan seluruh sakitnya.
Kara benar-benar dibuat sendiri malam ini.
Ia tidak tau harus meminta tolong pada siapa lagi kalau sudah begini.
Lelaki itu berharap matanya segera terkatup dan rasa sakit di badannya segera hilang.
"Bunda...peluk Kara sebentar aja. Dingin sekali bunda." Rintihnya.
Pilu sekali hidup anak lelaki ini. Di kota besar hidup tanpa sanak saudara. Tanpa harta yang cukup. Kara cuma punya rumah peninggalan bunda, rumah tanpa penopang yang kuat. Baginya bangunan ini sekarang tidak bisa disebut sebagai rumah untuknya.
Semua orang pasti punya rumah berbentuk bangunan, tapi tidak semuanya bisa punya rumah untuk diri sendiri.
Baginya dulu disini adalah tempat pulang paling nyaman. Tempat mengadu betapa kejam dunia padanya.
Dunia kejam?
Iya, dunia kejam bagi anak lelaki yang tidak bisa mendapatkan keadilan di semesta ini.
Lahir tanpa ayah adalah hal yang Kara benci. Dahulu ia dibully. Di sangka anak haram oleh sebagian orang. Namun bunda selalu menyakin bahwa hidup tanpa ayah itu tidaklah buruk.
Kara bisa berdamai dengan keadaan itu. Baginya tidak apa-apa tidak punya ayah, asalkan ia punya bunda yang selalu sayang padanya.
Bunda yang selalu mengusahakan semua cara agar Kara bahagia. Agar Kara tumbuh dengan baik. Walaupun hidup melekat dengan yang namanya kemiskinan, sungguh ia tidak pernah merasakan kekurangan dalam hidupnya.
Bunda rajin bekerja. Asalkan halal, bunda akan melakukannya. Sifat itu turun pada anak satu-satunya.
Contoh di dunia ini cuma bunda. Kara cuma punya bunda untuk diturunkan segala hal baiknya.
Entah kenapa skenario hidupnya terlalu rumit. Kadang Kara berpikir bahagia apa yang menunggunya di ujung sana?
Dan ia selalu berharap bahagia itu segera menghampirinya.
Mulutnya terus meracau. Menanggil nama yang tidak akan pernah menghampirinya lagi.
"Bunda...."
"Bunda..."
"Kara lelah...."
Terus menerus. Sampai rintihannya tidak lagi terdengar karna hujan begitu deras menghantam bumi yang dua hari ini kering kerontang.
🧩
KAMU SEDANG MEMBACA
Karunasankara [ON HOLD]
Roman pour AdolescentsHujan kala itu membuat aku resah akan hadir mu. Mencari kesana kemari, hingga lelah dan akhirnya bertemu. Namun hujan saat ini membuat aku kembali resah, resah akan kemana ku cari lagi sosok seperti mu? "Kara....bisa datang sebentar? Aku mau jujur...