1. Resonance

16 3 2
                                    

Sudah lima menit sejak bel istirahat berbunyi tetapi remaja berusia 15 tahun ini masih duduk di meja kantin dengan dua nampan didepannya. Ia sedang menunggu karibnya yang sedari tadi asik mengobrol dengan teman lainnya. Temannya itu benar-benar mudah bersosialisasi. Itu bisa dilihat saat mereka berdua berjalan di lorong kelas, banyak sekali yang menyapa karibnya itu.

Berbeda dengan dirinya, sangat susah untuk bergaul. Bahkan untuk menatap mata lawan bicaranya saja ia sangat enggan. Saat sekolah dasar ia pernah menjadi korban bully hanya karena ia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan atau di ruang musik. Tidak seperti anak laki-laki lainnya yang lebih suka melakukan kegiatan atletik.

Tapi semuanya perlahan berubah saat ia bertemu gadis itu, namanya Artsyka. Gadis yang menolongnya saat ia hampir dipukuli oleh kakak tingkat karena tidak mau memberikan uang sakunya. Saat itu, Artsyka berani melawan tiga anak laki-laki yang badannya lebih besar darinya.

Sejak saat itu mereka selalu menempel satu sama lain. Alasan Gema membiarkan Artsyka berada di dekatnya karena gadis itu merupakan anak yang baik, mendekatinya bukan semata-mata karena Gema merupakan anak orang kaya. Gadis itu benar-benar tulus ingin berteman dengan Gema.

Jika ditanya, mengapa gadis yang akrab dipanggil Syka itu mau berteman dengan Gema adalah karena ia ingin melindungi Gema. Ia selalu khawatir jika Gema di bully anak lain. Menurutnya, jika ia diberkahi dengan kekuatan yang berlebih ia harus membela yang lebih lemah. Dan ia memilih untuk melindungi Gema.

Setelah selesai berbincang-bincang dengan temannya, gadis itu berjalan menuju meja tempat Gema duduk menghadap dua nampan makanan.

"Udah ngobrolnya?" Gema dengan ketus memandang Artsyka.

"Hehe ya maaf, ya lagian ngapain nungguin gue sih? kan lo bisa makan duluan." Jawabnya sambil duduk di depan Gema. Dan menyerahkan botol air mineral yang diambilnya tadi untuk mereka berdua.

"Udah kebiasaan." Jawabnya singkat sambil mengotak-atik ponselnya.

"Dih!"

Syka sedikit kesal dengan Gema yang seperti itu sejak dulu. Padahal ia tidak masalah jika Gema mulai makan duluan, tapi Gema tetap saja selalu menunggunya. Jujur dalam hati, Syka takut kalau Gema sampai kelaparan karena banyak orang yang ingin berbicara dengannya hari ini.

Belum sempat Syka menyendok makanannya, nampannya ditarik oleh Gema. Tentu saja itu mengundang amarah Syka. Gema menukar nampan itu dengan miliknya.

"Apa-apaan sih, main tuker aja." Ucapnya dengan muka cemberut.

"Saus disosisnya ada kacang, lo gak bisa makan kacang." Sahut Gema.

"Lain kali kalo ambil makanan diliat dulu." Kini Gema mengomel.

"Lagian aneh, ngapain orang masak sosis pake saus kacang." Syka mulai menyendok nasi dan brokoli bawang putih dari tempat makan yang sudah ditukar oleh Gema.

"Tapi kan elo gak suka sosis Gem." Lanjutnya dengan mulut penuh nasi.

"Gue gak suka, tapi bisa makan."

Gema meletakkan ponselnya pada meja. Lalu mulai menyendok makanannya. Syka yang berada di depannya juga melahap makanannya, ia sebenarnya tidak suka brokoli. Tapi ia tidak bisa makan sosis dengan saus kacang itu. Ia tidak ingin masuk rumah sakit karena sosis saus kacang.

Alerginya terhadap kacang tanah membuatnya harus berhati-hati untuk memilih makan siang di sekolah, pasalnya dengan memakan sedikit kacang bisa membuatnya kesusahan bernafas. Saat di bangku sekolah dasar ia pernah hampir kehilangan nyawanya karena mencicipi kue kering yang dibuat temannya saat kelas memasak. Beruntung ia punya Gema yang dengan sigap melapor pada guru. Jika tidak, mungkin saat ini ia tidak makan brokoli di kantin sekolah elit ini dan berpindah alam.

AMPLITUDE. [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang