"Aduh!"
Helena spontan mengaduh saat tubuhnya terhempas begitu saja tanpa melewati anak tangga yang seharusnya. Waktu yang tidak banyak, menyebabkan Helena salah melangkah. Kakinya tidak bertumpu pada anak tangga. Akhirnya, ia tersungkur ke lantai stasiun. Sepertinya terkilir, karena ia merasakan nyeri yang amat sangat.
Beberapa penumpang di belakang Helena menjadi panik. Tanpa dikomando, seorang pemuda membantu Helena bangkit. Pemuda dengan kemeja flanel itu berusaha mengamankan Helena dari keramaian penumpang yang baru turun dari kereta.
"Mas, bawa aja ke ruang pengobatan," ujar sebuah suara yang tiba-tiba mendekat.
Pemuda itu lantas membawa Helena ke ruang pengobatan stasiun. Helena tidak terlalu mempedulikan siapa yang menolongnya saat itu. Kakinya benar-benar sakit, bahkan ia tak bisa lagi berjalan normal. Ia bahkan melupakan barang bawaannya yang tadi ikut terjatuh.
"Dudukin di situ aja Mas," suara asing tadi ikut masuk ke ruangan. "Mas, terima kasih banyak bantuannya. Biar nanti petugas kesehatan yang mengurus,"
"Saya pamit, Mas. Mari," pemuda tadi segera meninggalkan ruangan.
Sembari menyesuaikan diri dengan rasa nyeri dan ruangan baru, Helena mengamati sang pemilik suara tadi. Tampak seorang laki-laki dengan seragam putih dan celana biru donker berdiri di ambang pintu. Ia berusaha mengontak paramedis stasiun. Ini siapa sih, batin Helena.
Sesaat kemudian, dua orang paramedis datang. Mereka segera memeriksa keadaan Helena. Benar, kaki Helena terkilir. Ada lebam dan sedikit luka gores di kakinya.
"Mbak, jangan pakai heels dulu ya, sampai tiga hari kedepan." salah satu paramedia memberi nasihat. "Obat analgesiknya diminum dulu, dan kakinya rutin dioles salep ini ya,"
Helena mengamati salep yang diberikan padanya. "Terima kasih banyak, Mbak."
Helena segera berkemas setelah paramedis tadi keluar ruangan. Ia bangkit dari kursi, dan mencoba untuk berjalan keluar ruangan. Namun baru beberapa langkah, kakinya terasa nyeri lagi.
"Duduk disini aja dulu," laki-laki berseragam tadi mendadak muncul lagi.
Helena menatap wajahnya lekat-lekat. Orang ini, seperti malaikat saja, pikirnya. Selalu tiba-tiba muncul saat Helena tengah membutuhkan sesuatu. Masih muda, dan kali ini laki-laki itu membawa sebuah jas dan topi seperti masinis.
"Masih belum bisa jalan sepertinya," ujar Helena. "Aku minta driver taksinya masuk aja buat bantuin aku,"
"Kamu mau kemana?" tanya laki-laki itu.
"Mau, kerja. Eh, ada job hari ini," jawab Helena. Ia sedikit mencuri pandang ke arah nametag yang digunakan laki-laki itu. Megantara Prameswara, masinis. Oh, benar ternyata.
"Kemana?" tanya Mega lagi. "Aku juga mau pulang soalnya. Kalau searah, bareng aja. Kamu jatuh dari keretaku, jadi aku ngerasa harus jagain kamu,"
Hah?! Helena sedikit terperangah dengan ucapan Mega. Antara takjub dan heran, semuanya terjadi begitu saja. Bagaimana bisa Mega yang baru saja bertemu dengan Helena, begitu pedulinya hingga mau mengantar Helena pulang. Apakah memang seperti itu tanggung jawab Mega terhadap penumpangnya? Atau memang karakter Mega yang mudah menolong orang?
"Makasih, Mas," Helena sedikit kikuk. "Tapi, eh, emm, gini Mas. Saya bisa pesan taksi online aja kok,"
Mega tersenyum, lalu mengenakan jasnya. Dan saat itulah Helena benar-benar terperangah. Menatap Mega yang baginya saat itu benar-benar terlihat tampan.
"Saya anter aja. Mbaknya belum bisa jalan normal ini. Nggak, saya nggak nipu kok, Mbak, hehe,"
Helena terdiam, dan Mega menganggap isyarat itu sebagai tanda setuju. Ia segera berlalu menuju parkiran sepeda motor. Beberapa saat kemudian, Mega masuk lagi ke ruang pengobatan. Ia membantu Helena keluar ruangan, mengantarnya ke sebuah pot bunga yang dekat dengan sepeda motor maticnya. Ia meminta Helena menunggu disitu, sementara Mega mengambil sebuah tas baju milik Helena yang tertinggal di ruang pengobatan.
Seraya mengamati sepeda motor, Helena merasa beberapa pasang mata tengah memerhatikannya. Barangkali mereka merasa aneh, kenapa Helena keluar stasiun bersama Mega. Terlebih lagi, Mega mengenakan seragam masinis lengkap, bahkan dengan topinya. Helena sendiri heran, kenapa Mega tidak menyimpan topi itu di bagasi sepeda motornya saja.
"Yuk," tiba-tiba Mega sudah ada di hadapannya.
Sedikit kikuk, Helena naik ke sepeda motor. Terhirup sisa-sisa aroma parfum yang dikenakan Mega. Kini, Helena dapat dengan jelas memerhatikan warna jas biru dongker itu. Perlahan sepeda motor bergerak meninggalkan stasiun. Beberapa kali Mega menyapa orang-orang yang dilaluinya. Sangat akrab. Mega bukan orang baru disini.
"Mau makan dulu nggak?" tanya Mega.
"Eh, nggak usah." jawab Helena grogi. Ia masih tak habis pikir, bagaimana bisa ia mendadak sedekat ini dengan Mega.
Mega terus memacu sepeda motornya, membiarkan Helena terhipnotis aroma parfumnya. Sepeda motor berhenti tepat di depan sebuah rumah kos, lokasinya tidak terlalu jauh dari stasiun. Hanya saja, jalan yang dilalui berbelok-belok. Helena turun perlahan, berikut membawa tas yang tadi diletakkan di depan.
"Mas, Mega?" Helena melirik nametag Mega. "Terima kasih banyak bantuannya. Harusnya, Mas Mega nggak perlu repot-repot nganterin saya sampai sini. Saya jadi nggak enak,"
"Anggep aja, nambah relasi, Mbak. Eh, Mbak siapa ini?" tanya Mega. Baru ia ingat, sedari tadi mereka belum berkenalan.
Helena menjulurkan tangannya. "Helena,"
Mega tersenyum, lalu menjabat tangan Helena. Meskipun ada perasaan senang yang teramat sangat, Helena berusaha menyamarkannya dengan menatap ke arah jendela kamar kos. Entah apakah Mega menyadari perubahan rona wajah Helena atau tidak. Setelah itu, Mega pamit pulang. Meninggalkan Helena yang masih terheran-heran dengan pengalamannya yang terjadi begitu cepat. Helena segera beranjak menuju kamarnya. Capek sekali. Dan kaki masih sangat nyeri.
Setibanya di kamar, Helena segera meletakkan tas pakaiannya. Ia duduk di samping tempat tidur, melepas sepatunya. Sembari menghapus sisa make up, kembali pikirannya tertuju pada Mega. Rumahnya dimana ya?
Mungkin sudah hal biasa, jika mendapatkan pertolongan dari petugas yang ada di stasiun. Tidak terkecuali dari kru yang bertugas di kereta api. Namun entah mengapa, Helena merasa ada yang tidak biasa. Kehadiran Mega tadi, benar-benar di luar ekspektasinya. Apakah Mega nanti terus bertugas untuk kereta yang sama? Bagaimana jika ia pindah kereta? Aduh, kenapa harus gelisah, batin Helena.
"Masa aku harus tanya sama anak railfans sih?" gumam Helena.
Perlahan Helena merebahkan tubuhnya. Sebenarnya ada jadwal pemotretan besok pagi, untuk produk gaun milik sebuah butik. Namun Helena tak yakin bisa datang untuk sesi pemotretan atau tidak. Kecuali jika besok, rasa sakit di kakinya dapat diminimalisir. Semoga saja.
-o0o-

KAMU SEDANG MEMBACA
Semboyan
RomanceBerawal dari kecelakaan kecil saat turun dari kereta api, Helena jatuh cinta kepada seorang masinis yang kebetulan menolongnya. Namun sayang, keluarga Helena tidak ingin ia bersuamikan seorang masinis. Keadaan justru bertolak belakang pada keluarga...