69 - Chaos

310 53 11
                                        

.

.

Sungguh berat jadi orang berilmu. Semua tingkah polah, akan dihakimi masyarakat yang melihat mereka.

.

.

***

Theo menyalakan mikrofon di mejanya. Menatap tajam ke arah bocah bernama Ismail yang duduk di sana.

"Kelas berapa kamu, Dek?" tanya Theo, terdengar di telinga Ismail seperti kurang ramah, lebih ke menyepelekan.

"Saya di tahun ke-empat madrasah Ibtidaiyah," jawab Ismail singkat, tanpa berkedip dan tanpa jeda.

"Berarti, itu setara kelas 4 SD?" tanya Theo lagi.

"Iya," sahut Ismail.

Theo menghela napas dengan salah satu ujung garis bibir naik, dan tatapan merendahkan. "Ya ampun. Masih kecil sekali. Saya tidak percaya. Baru kali ini saya bertanya pada saksi sekecil ini."

Rizal spontan berdiri. "Keberatan, Yang Mulia! Saudara Theo meremehkan saksi saya!"

Hakim mengelus kening. Memang kelakuan Theo ini -- agak laen memang. "Saudara Theo, dimohon untuk langsung pada pertanyaan!" seru hakim itu.

"Mengingat jam terbang anda, aneh sekali kalau anda tidak pernah berhadapan dengan saksi anak, saudara Theo Hayden," ceplos Elena melalui mikrofon. Rizal mendelik ke arah rekan wanitanya. Elena melipat tangan dengan muka cemberut. Dia sudah dinasehati untuk menahan diri dari mengomentari kelakuan Theo, tapi apalah daya, makhluk bernama Theo Hayden itu memang pandai memancing emosi. Manalah Elena tahan untuk berdiam diri dan menelan bulat-bulat ocehan Theo.

Sementara keluarga Danadyaksa nampak menahan emosi. Termasuk Adli yang nampak geram di tempat duduknya, Ishaq yang seperti akan menangis, lalu tim penyabar -- Yunan, Raesha dan Arisa -- mengatur nafas, plus Erika keluar urat nadinya, sedang menahan diri untuk tidak melempar sepatu hak dua sentinya ke muka Theo.

Theo melirik Elena sekilas, sebelum mendengkus dan memulai sesi tanya jawab dengan ekspresi enggan.

"Ismail, kamu bilang tadi, saat baru tiba di rumah, semua lampu mati termasuk lampu taman. Benar begitu?" tanya Theo.

"Benar," sahut Ismail dengan anggukan.

"Berarti, penerangan hanya dari lampu jalan yang ada di luar rumah, dan dari cahaya bulan?"

"Iya benar."

"Kalau begitu, mengingat cuaca saat itu sedang hujan, artinya bulan juga tidak nampak?"

Orang-orang mulai saling berbisik. Benar juga. Katanya saat itu hujan. Bagaimana bisa ada cahaya bulan di saat hujan?

Raesha mengernyit dahinya. Ia punya perasaan tidak enak. Ke mana pertanyaan Theo ini akan berujung?

"Tidak. Bukan sama sekali tidak ada. Awan memang mendung, tapi bulan nampak walau sedikit. Separuhnya tertutup awan," respon Ismail segera. Tak ingin membuat jeda yang bisa membuat orang-orang mempertanyakan kesaksiannya.

"Oh begitu. Berarti bisa dibilang cahaya sangat minim. Bagaimana kamu bisa yakin mengenali wajah tersangka?" tanya Theo dengan senyum seringai.

Ismail terkejut. Tak menyangka akan digiring pada kesimpulan semacam itu. Dia dituding tidak becus mengenali tersangka, karena cahaya minim?

Hadirin mulai berisik. Kesal juga dengan Theo yang terlihat sedang menekan psikologis seorang bocah, tapi di sisi lain mulai merasa pertanyaan Theo beralasan.

Raesha nyaris berdiri untuk protes, tapi Yunan mencegahnya dan memberi isyarat pada Raesha untuk duduk kembali.

"T-Tunggu dulu, saudara Theo! Anda tidak bisa --!!" sergah Elena sebelum menyadari bahwa mikrofonnya belum dinyalakan. Rizal menahan tangan Elena, sebab ia ingin memberi kesempatan bagi Ismail yang terlihat sudah siap menjawab.

ANXI EXTENDED 2 (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang