Tiga

4.5K 932 16
                                    

AKU melihat cermin sekali lagi untuk memastikan kalau dandanku sudah rapi. Aku memutuskan mengikuti rencana Papa untuk menemui para nominator calon suami yang dipilihnya untukku. Aku yang menentukan urutannya, dan karena aku sudah subyektif, aku memulainya dari Daran, dewa penolongku.

Bisa jadi aku tidak akan menemui Delano dan Eldric kalau aku melihat kecocokan antara diriku dan Daran. Hati kecilku berharap begitu karena memulai hubungan dengan seseorang yang pernah kita kenal, meskipun sepihak, tetaplah lebih baik daripada memulai dari nol dengan orang yang benar-benar asing.

"Cantik banget, buk!" Willa, sahabatku, sekaligus rekan dokter yang juga bekerja di klinik muncul dari balik pintu ruanganku. "Kencan butanya sekarang?"

Aku menceritakan rencana Papa pada Willa, jadi dia tahu aku akan bertemu Daran dalam waktu dekat.

Aku mengangguk. "Iya, tadi Daran ngirim pesan dan ngajak ketemu gue. Ini nggak bisa dibilang kencan buta juga sih. Gue kan tahu dia."

"Papa lo yang ngasih nomor lo ke dia?" Willa duduk di depanku.

"Bukan, pertemuan ini diurus Pak Mulya, asisten Papa. Dia yang ngasih nomor gue ke Daran."

Siku Wika bertumpu di atas mejaku. Telapak tangannya menopang sebelah wajah sambil terus menatapku. "Kalau lo cocok dan beneran jodoh sama Daran, dua sisanya bisa dioper ke gue aja untuk gue seleksi, kan? Gue nggak masalah kebagian remahan potongan kue lo. Kalau gue berhasil dapat suami konglomerat kayak papa lo, gue akan buka klinik sendiri supaya lo punya saingan."

Aku berdecak. "Lo nggak akan buka klinik meskipun punya duit nggak berseri. Lo itu tipe yang datang ke rumah sakit dan klinik hanya untuk kerja aja, nggak akan mau ribet ngurusin manajemen bisnis."

Wika mendesah. "Iya, lo benar. Gue benci kerjaan administrasi. Gue nggak akan menghabiskan energi untuk mikirin cara supaya usaha gue bisa berkembang biar punya banyak untung. Kalau beneran punya suami konglomerat, gue akan berhenti kerja di dua tempat kayak sekarang. Gue akan fokus ngurusin suami, liburan keluar negeri sambil belanja tas dan baju yang mungkin nggak akan pernah gue pakai, dan datang perawatan ke sini tiap bulan. Pokoknya, gue akan melakukan semua hal norak yang orang kaya baru lakuin saat kaget lihat tumpukan uang. Ingatin gue untuk bayar semua utang-utang gue sama lo. Mulai dari utang gede UKT, sampai utang es teh pinggir jalan yang bikin lo diare tempo hari. Susah punya teman anak konglo, perutnya nggak tahan banting. Baru ketemu bakteri sedikit aja udah ngambek saking terbiasa steril."

Aku tertawa mendengar kata-kata Willa. Aku memang pernah diare saat kami jajan di pinggir jalan. Waktu itu kami makan beberapa jenis camilan, jadi aku tidak tahu persis makanan apa yang membuatku diare. Es teh yang tadi disebut Willa hanya jadi kambing hitam saja karena harganya paling murah.

"Untuk bahagia dan hidup nyaman, lo nggak harus jadi istri konglomerat, buk!"

"Lo bisa bilang gitu karena lo nggak pernah ngerasain berada di posisi nggak punya duit saat butuh," bantah Willa. "Lo nggak tahu gimana rasanya sesak napas tiap kali masuk semester baru karena harus bayar UKT. Gue nggak bisa dapat beasiswa karena secara administrasi nggak cukup miskin untuk jadi penerima beasiswa, tapi aslinya orangtua gue nggak pernah punya cukup duit karena selain punya cicilan di bank, mereka harus membiayai kakek-nenek gue juga. Lo bayangin aja gaji bokap gue yang hanya sedikit di atas UMR dijadiin biaya hidup 7 orang! Gue pasti udah DO kalau nggak temenan sama elo. Untung sekarang gue udah kerja, jadi udah bisa bantu-bantu biaya rumah."

Aku tidak membantah Willa lagi. Aku tidak tahu dan tidak akan pernah tahu rasanya berada di posisi dia. Aku beruntung karena tidak pernah merasakan pengalaman menjadi sandwich generation.

"Menurut lo, kenapa Daran setuju ketemu gue?" aku mengalihkan topik percakapan.

Tatapan Willa tampak mencemooh. "Memangnya ada orang yang bisa menolak saat ditawari PDKT dengan anak Harry Sudjono?"

Aku memutar bola mata.

Willa tertawa. "Oke, abaikan nama papa lo dan hartanya yang bergunung-gunung itu. Lo sendiri aja udah jaminan mutu. Lo adalah dokter pemilik klinik kecantikan terkenal di Jakarta, yang berarti bahwa lo adalah wanita yang cerdas dan sukses." Dia menunjukku dari ujung kepala sampai kaki. "Lo juga cantik dan seksi."

Aku meringis. Aku bertemu Willa saat mulai kuliah. Waktu itu aku sudah kehilangan banyak lemak tubuh setelah Mama membawaku ke dokter gizi untuk mengatur pola makan dan mulai berolahraga dibantu personal trainer. Willa tidak tahu aku versi gajah digabung kuda nil dengan kawat gigi. Dia hanya kenal aku sebagai cewek chubby jerawatan.

Syukurlah semua sudah jadi sejarah. Sekarang, saat melihat kulit wajahku, orang pasti tidak percaya kalau aku pernah punya masalah jerawat menahun yang sangat parah. Orang juga tidak akan percaya kalau aku bilang berat badanku pernah tembus angka 100! Tinggi badanku memang 171 sentimeter, tapi bahkan dengan tinggi seperti itu, berat badan dengan angka 3 digit tetap membuatku tampak seperti induk gajah hamil sehingga menjadi sasaran empuk untuk dijadikan lelucon.

Saat SD sampai dengan kelas 1 SMA, aku kenyang dengan ejekan, sindiran, sampai pandangan jijik karena obesitas. Ketika berada di mal, aku akan dijadikan contoh para ibu untuk melarang anaknya membeli makanan terlalu banyak. "Jangan kebanyakan jajan, Sayang. Kamu mau jadi gendut kayak dia?" lirikan ibu anak itu akan terarah padaku. Hal itu yang membuatku tidak suka berada di tempat ramai karena bobot tubuhku selalu mengundang perhatian.

Suara ketuka pintu membuat perhatianku teralihkan dari kenangan masa lalu. Seorang staf klinik membuka pintu dan masuk. "Dok, ada customer priority yang mau treatment sama dokter Shaylin jam tujuh nanti. Bisa, atau saya minta supaya dia menjadwal ulang untuk besok aja?"

Aku spontan melihat pergelangan tangan. Aku janjian sama Daran pukul empat di kafe yang tidak terlalu jauh dari klinik. Pertemuan itu tidak akan makan waktu sampai satu setengah jam, jadi aku bisa kembali ke klinik untuk menangani seorang pelanggan sebelum pulang ke rumah.

"Jam tujuh saya bisa kok. Nggak usah diminta jadwal ulang besok. Mungkin waktu dia memang hanya bisa malam ini aja."

"Baik, Dok. Terima kasih." Staf itu meminta diri dan keluar.

Aku meraih tas tangan dan tersenyum pada Willa. "Gue harus pergi sekarang."

Willa mengiringi langkahku. "Daran pasti pangling lihat lo," katanya. "Penampilan kita saat masih SMP dan SMA kan beda jauh dari sekarang. Dulu gue kucel dan dekil banget. Itu masa jahiliah saat gue belum kenal sunscreen. Pasti bedalah sama lo yang lingkungannya bersih banget dan full AC serta udah dipakein produk skincare sejak orok. Tapi pasti versi jadul dan versi upgrade setelah dewasa kan nggak mungkin sama. Apalagi lo udah punya klinik. Tampilan lo sekarang adalah gambaran apa yang mungkin bisa orang-orang dapetin kalau perawatan di sini. Lihat lo yang kinclong, glowing, dan seksi gini, orang jelas mau aja buang duit untuk datang ke sini."

Aku tersenyum. "Gue cuman bilang kalau gue pernah satu sekolah sama Daran dan gue tahu dia. Tahu ya, bukan kenal. Gue yakin dia nggak ingat gue." Kelas pergaulan kami waktu itu berbeda. Aku tidak memberi tahu detailnya pada Willa karena tidak ingin mengingat masa-masa menyedihkan itu terlalu lama. Membicarakannya hanya akan membuatku bernostalgia lagi.

Willa melepasku di depan lift. "Good luck ya. Semoga Daran ada chemistry-nya jadi kamu nggak perlu kencan buta lagi."

Aku melambai pada Willa sebelum pintu lift menutup. Aku juga berharap seperti itu karena aku sudah punya bayangan tentang Daran. Yang kuingat dari dia semuanya positif. Aku lebih suka menjalin hubungan dengannya daripada Delano atau Eldric yang sama sekali asing.

Aku menghela napas panjang. Semoga saja pertemuan ini berjalan mulus.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. DI sana udah tamat.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang