04 - quand tu appelles mon nom

123 12 3
                                    

[ H e a r t b u r n]

Ada banyak kemungkinan yang diutarakan, harapan yang didoakan, serta tujuan yang harus tercapai. Amberly menutup mata, menikmati semilir angin yang berhembus menyapa wajahnya. Dibawah rindangnya pohon, pada kursi panjang yang dia duduki, sendirian, terasa begitu nyaman dan tenang.

Jam pulang sekolah telah usai lima belas menit yang lalu. Tetapi Amberly masih bertahan dilingkungan sekolah. Dia mengatakan pada Joe untuk pulang lebih dulu sebab dia ada urusan, benar, itu kejujuran. Sebelumnya dia pergi ke perpustakaan untuk mencari buku materi, kemudian setelah dapat dan keluar, dia berpikir untuk melamun sejenak di taman belakang. Dan, disinilah dia berada.

“Harusnya gua nggak perlu tau.” Penyesalan atas dasar rasa ingin tahu yang berlebih. Amberly mengutuk dirinya sendiri karena terlalu ceroboh, masih menyangkal dengan apa yang dia ketahui. Keraguan menyerang, berperang dengan kenyataan, bahkan kadang dia bertingkah tutup mata atas apa yang terjadi. “Nggak mungkin kan, bisa aja waktu itu gua cuman lagi nggak fokus dan jadi salah lihat.”

Berdebat dengan diri sendiri, sampai tidak menyadari bahwa ada seseorang yang menunggu dan memperhatikannya di belakang. Kafssa mendengarkan apa yang dikatakan Amberly bersama kebingungan dan penasaran menyatu dalam pikirannya. Cowok itu berdiri gagah dengan kedua tangan tersembunyi dalam saku celana. Latihan basket kali ini agak lebih lama dari biasanya, usai insiden tak terduga sebelumnya—goresan benda tajam melukai tangannya, dia berniat menyelesaikan sendiri dengan mengambil gulungan perban dan obat antiseptik di ruang kesehatan.

Kafssa menghela napas, mendekati Amberly yang melupakan waktu dengan wajah kosong. Cowok itu berdiri di hadapan Amberly, lalu menjentikkan dua jarinya hingga perempuan itu terkejut dan sadar.

“Eh, kenapa lo disini?” Amberly mencoba menetralkan rasa terkejutnya. Bahkan sempat-sempatnya mencubit daging dilengan guna menyakinkan bahwa sosok didepannya bukanlah khayalan. “Sakit.” Bergumam sendiri.

“Dari kapan?”

“Um?” Wajah Amberly terlihat bodoh dan aneh. Perempuan itu memiringkan kepala dan bertingkah linglung, seolah kesadarannya hanya tertinggal seperempat. Apalagi tingkah selanjutnya, dia menggaruk sisi kiri pipinya serta menyengir konyol sesaat sadar tatapan mata Kafssa menusuknya.

Kafssa menjadi kesal, dia masih berdiri, hingga interaksi tersebut, Amberly harus rela mendongakkan kepala. “Disini ngapain?” Lagi-lagi bertanya iseng.

Amberly mengangkat kedua bahu, “Nggak ada. Cuman iseng pengen tenang sebentar aja.” Ujung sepatunya mematuk-matuk kecil pada rumput liar yang dipijak.

Kafssa menyodorkan segulung perban dan obat antiseptik pada Amberly usai keheningan menyerang mereka selama lima menit.

Perempuan itu mendelik tak senang, namun matanya melotot terkejut dengan satu tangan membekap mulutnya, kala melihat Kafssa memperlihatkan luka di lengan kanan atasnya yang terbuka dan tergores cukup panjang. Namun cowok itu tak bereaksi apapun selain menampilkan wajah datarnya, seolah memberi perintah lewat sorot mata agar Amberly segera mengobati lukanya.

“Nggak pegel berdiri? Sini duduk.” Amberly menitah Kafssa untuk duduk disebelahnya. Cowok itu menurut tanpa protes. Lalu Amberly menelisik keadaan luka tersebut.

“Yang ini kayaknya harus diobatin sama dokter deh, gua bukan spesialis luka kalau lo tau. Kalau cuman luka gores kecil gua masih bisa obatin, kalau sebesar ini gua nggak yakin.” Tatapan mata Amberly begitu sendu, meringis ngilu ketika jemari lentiknya menyusuri tiap sisi luka baru Kafssa.

Hurt burn Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang