Shuttlecock yang terus berpindah dan melayang melintasi net dengan cepat, sukses menarik fokus Rena untuk terus menatap layar televisi. Ia seakan tidak ingin kehilangan satu detik pun agar bisa melihat langsung pemain mana yang berhasil menambah poin.
Dan saat ia akhirnya menyadari jika teman seatapnya sudah pulang dan membuka pintu, dengan gerakan kilat ia meraih remote, lalu menekan tombol power hingga tampilan pertandingan bulutangkis yang ditontonnya berganti menjadi layar gelap.
Ada jeda hening beberapa detik karena Aditya terlanjur menyaksikan aksi itu, tapi Rena tetap berusaha santai sambil memperbaiki posisi duduknya di depan TV.
Aditya menahan senyum, kemudian bertanya dengan santai, "Nonton apa memangnya? Bukan film dewasa, kan?"
"Bukan!" bantah Rena kilat.
"Kenapa langsung dimatikan?"
Rena memilih diam.
"Fix, sih, pasti nonton yang aneh-aneh." Aditya terus memburu dengan jail.
"Bukan!" sanggah Rena lagi.
Aditya mengulurkan tangan, meminta remote yang digenggam erat oleh Rena. "Mari kita buktikan," tantangnya.
Rena mendengus, kemudian dengan pasrah melepas remote. Ia pun sempat menahan napas saat mengamati perubahan ekspresi Aditya ketika televisi menyala sempurna, dan menampilkan pertandingan bulutangkis yang masih berlangsung.
"Oh, bulutangkis," komentar Aditya datar, kemudian ikut duduk dan bersandar di samping Rena.
Rena menghela napas, memilih tidak memberi tanggapan. Ia berusaha menikmati pertandingan yang ditontonnya kembali. Sayangnya, ia tak bisa lagi konsentrasi pada dua atlet yang sedang berlaga itu. Sesekali, melalui ekor matanya, ia melirik pada Aditya yang tengah duduk tenang sambil melipat tangan di depan dada. Posenya itu sudah seperti seorang pelatih yang sedang memantau pergerakan anak didiknya dalam pertandingan di sudut lapangan.
"Ada makanan, kan?" Suara Aditya terdengar saat game kedua baru saja berakhir.
Rena segera bangkit. "Iya," jawabnya, "sudah kusiapkan di meja," lanjutnya, kemudian mengambil langkah lebih dulu menuju meja makan.
"Loh? Nggak mau nonton lanjutan match tadi?" tanya Aditya, "Aku nggak ngelarang, ya," sambungnya.
Rena menghela napas. Minatnya untuk menonton lenyap begitu saja. Entah kenapa tiba-tiba terbit rasa tak nyaman dalam dirinya. Ia menggeleng lemah, kemudian berkata lirih, "Aku juga belum makan."
"Karena menungguku?" Raut wajah Aditya berubah cerah, ia tidak bisa menyembunyikan senyum di akhir kalimatnya.
Rena tidak memberi jawaban, hanya terus melangkah menuju meja makan.
"Lain kali, kalau aku pulang telat lagi, nggak usah ditungguin. Ini hampir jam sembilan malam loh, makan saja lebih dulu," ujar Aditya, sambil terus mengumbar senyum meski tak mendapat jawaban pasti. Ia kemudian mulai mengisi piringnya. "Selamat makan," ucapnya sebelum memasukkan suapan pertama ke dalam mulut.
Tak ada balasan lagi dari Rena. Ia memilih menikmati makan malamnya tanpa suara. Jika boleh jujur, sebenarnya ia belum makan bukan karena menunggu kepulangan Aditya, hanya saja dirinya terlalu fokus menonton dan menikmati pertandingan tadi. Tapi, ia merasa segan mengungkapkan hal itu. Merasa tidak enak jika senyum semrigah teman serumahnya itu akan menghilang.
"Terima kasih masakannya," ucap Aditya setelah menandaskan satu gelas air putih sebagai penutup sesi makan malamnya, "Sebagai tanda terima kasih, kali ini aku yang cuci piring."
"Tidak perlu," cegah Rena cepat, "aku saja," tambahnya, setelah minum dengan cepat, kemudian mengambil alih piring kotor bekas Aditya. Ia juga mengambil piring bekas lauk dan menumpuknya, kemudian memindahkan semuanya ke bak cuci piring.
"Oke, baiklah." Aditya memutuskan untuk meninggalkan area dapur, dan meneruskan langkah menuju kamar tidurnya.
Rena menghela napas, memandangi punggung Aditya yang menjauh. Ada rasa bersalah dalam dirinya yang terus berusaha menjaga jarak dengan Aditya. Bagaimanapun--dalam pandangannya, Aditya juga 'korban' dalam hal ini. Tapi, ia juga enggan langsung bersikap akrab dan menerima begitu saja situasi di antara mereka.
Kadang muncul rasa kasihan untuk nasibnya bersama Aditya, tapi sering juga ia merasa marah jika memikirkan muasal dari kerumitan hidup yang harus mereka jalani ini bersumber dari keluarga Aditya. Karena itu, sikapnya tak bisakonsisten dalam berinteraksi dengan teman seatapnya itu.
Rena berdecak kesal. "Ribet banget, sih, hidup ini," lirihnya, lalu berbalik dan mulai mencuci piring.
***
Aditya menutup kamarnya sambil menghela napas frustrasi. Ia menempelkan keningnya pada daun pintu, sementara tangannya masih menggenggam erat pegangan pintu.
"Sampai kapan aku harus menjalani hidup seperti ini?" lirihnya.
Terus berusaha terlihat santai dan menjadi sosok yang ceria dalam menjalani hidup sama sekali bukan gayanya. Setelah menikah, ia selalu menampakkan pribadi yang senantiasa bahagia, seolah tak ada benang kusut yang membelit hidupnya.
Dengan gerakan lesu, Aditya meletakkan ransel dan tas yang ia jinjing pada meja kecil di dekat pintu. Ia kemudian berjalan menuju tempat tidurnya, lalu menghempaskan tubuh di atas kasur. Matanya menatap lurus ke arah langit-langit kamar yang berwarna putih polos itu. Seolah segala hal yang telah ia lalui satu bulan terakhir, terputar dengan jelas di atas sana.
Dirinya memang sudah menyiapkan mental untuk kehidupan pernikahan yang mungkin tidak akan selalu berjalan mulus, tapi yang ia alami sekarang ini justru sangatlah jauh dari apa yang ada dalam prediksinya.
Satu bulan ia dan Rena hidup di bawah satu atap. Berbagi makanan yang serupa, dan menghirup udara yang sama. 30 hari yang nyatanya belum cukup untuk saling beradaptasi, belum mampu memberi perkembangan berarti dalam hubungan mereka. Tidak ada ikatan yang bisa ia rasakan. Bahkan jarak yang ada justru terasa semakin menjauh, padahal setiap hari raga mereka selalu berjumpa.
Aditya mengusap wajah dengan kedua tangannya. Baru satu bulan, ia sudah merasa jenuh. Segala cara yang dilakukan untuk mengakrabkan diri pada sang istri nyatanya sia-sia saja. Rena seolah menutup rapat pintu hati untuk dirinya. Pintu hatinya seolah telah dijaga dengan gembok yang kokoh, dan ... kunci pembukanya telah diserahkan pada orang lain.
"Andai saja aku tahu lebih cepat kalau sudah orang lain yang dia simpan rapat di dalam hatinya. Sehari saja lebih cepat," lirih Aditya, kemudian berguling ke arah kanan, "Mungkin semuanya nggak akan serumit ini."
Getaran ponsel yang tersimpan di saku celana membuat Aditya menunda niat untuk memejamkan mata. Ia segera membuka pesan pada grup keluarga yang dikirim oleh kakak perempuannya.
"Yeeaay ... Adrian berhasil melaju ke babak kedua Korea Open. Ayo doakan Adrian agar mulus sampai di podium tertinggi!"
Aditya menghela napas, membaca pesan itu sukses membuat rasa nyeri dihatinya bertambah dua kali lipat.
Jika saja ia tidak berhenti dan terus menjalani hidup sebagai atlet, bisakah dirinya berlaga mewakili nama negara? Bisakah ia juga konsisten dan mendulang banyak prestasi? Bisakah namanya terus dibanggakan oleh keluarga besar?
Dan ... Akankah seorang Renata Salsabila menyadari kehadirannya lebih dulu?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Adaptasi
عاطفيةKita ini hanya dua orang yang terjebak di bawah atap yang sama. Renata Salsabila Aku sayang kamu. Aditya Argatsani