Burn

166 22 0
                                    

...

Tidak ada lagi perlawanan pedang antara pedang, atau kuasa antara kuasa. Halilintar dan Gempa - telah mengirimkan adik-adik mereka yang terluka parah beserta Taufan yang tak sadarkan diri ke tempat aman. Dua pemuda itu terduduk lemah sembari mengatur nafas mereka, berbanding terbalik dengan musuh yang masih berdiri tanpa luka fatal di tubuhnya.

"Potensi kuasamu boleh ditingkatkan lagi, lemah," pancing pria kekar bermata satu itu.

Halilintar mengeratkan tangan yang menggenggam pedang, kelereng merah yang setengah ditutupi kelopak mata itu mencari perhubungan kontak mata dengan sang emas.

Merasa dirinya ditatap, Gempa menoleh kepada Halilintar, berbicara dari hati ke hati. 'Aku akan menjaga kakak dari belakang' ucap Gempa tanpa suara.

Hati Halilintar retak melihat penampilan adik ke-2 nya yang sudah obrak-abrik. Lengan kanannya mengalami luka bakar. Pelipis Gempa telah dihiasi darah segar yang setia menetes dari kepalanya. Pahanya sedikit terekspos karena beberapa bolongan robek akibat pertarungan ini.

Si merah mengesampingkan semua kekhawatirannya akan adik-adiknya. Ia harus kembali dengan nyawa, tidak utuh juga tidak apa.

Sepasang kaki gagah seorang sulung berdiri kembali, mempersiapkan kuda-kuda menyerang kearah pria jelek yang tersenyum miring menyebalkan.

"KECEPATAN KILAT!" Halilintar dengan cepat pindah tempat ke belakang pria itu, mengayunkan pedangnya sekuat tenaga. Seakan meremehkan Halilintar, dia hanya menghindar dan tertawa terbahak-bahak.

Rahang Halilintar mengeras. Emosinya tersulut. Si merah merasa tidak ditatap sebagai lawan.

"TOMBAK HALILINTAR," teriaknya dan seketika pedang miliknya berubah menjadi tombak. Tuan gemuruh itu bergerak dengan kekuatan maksimal, mencoba menusuk tombaknya - minimal sekali menembus tubuh sang musuh.

Pria bermata satu itu mengeluarkan pedangnya dan menghentikan tombak itu untuk mengenai tubuhnya, refleks orang itu bahkan melebihi Halilintar.

"Lebih cepat lagi! Aku berekspetasi tinggi terhadap pemegang tahta kuasa Halilintar, kau lemah!"

"DIAMLAH!"

Gempa, aku harap kau bisa membaca niatku. Batinnya. Elemen Halilintar dari pedang yang digenggam perlahan berhenti memancar. Si merah mundur sejenak, untuk mengambil nafas panjang dan mengerahkan seluruh tenaga.

Sial. Aku salah baca, untuk mengalahkannya butuh petarung jarak jauh. Pikir Halilintar sibuk menyusun strategi untuk mengalahkannya, hingga tidak sadar pria itu melesat maju untuk menebas leher Halilintar.

Semua terasa seperti slow-motion. Pedang pria itu telah diayunkan mengarah perpotongan kepala dan tubuh si merah. Halilintar tidak banyak waktu untuk reaksi, mungkin pedang itu akan menembus lehernya - memenggal kepalanya di tempat.

"TUMBUKAN GIGA!!" Tidak ada yang menduga, Gempa, dengan energi yang diambang batas mengerahkan golem untuk menumbuk pria itu hingga terpental beberapa meter. Yang terpenting leher Halilintar masih ada keberadaannya.

"Aku mengira kau sudah tidak sadarkan diri, sepertinya aku meremehkan kuasa Tanah.." gumam si pria, tetapi cukup keras untuk mereka berdua dengar.

Gempa memerintahkan golemnya untuk menyerang lagi, tangan sang golem terangkat untuk melayangkan pukulan kedua kalinya. Naasnya, pria itu dengan cepat menghampiri Gempa dan mencekiknya. Entah datang darimana, tembakan berupa cahaya menebas habis golem milik Gempa. Batu itu hancur lebur dimana-dimana.

'T-tidak mungkin..kuasa Cahaya..?' Sebenernya apa yang musuh ini sembunyikan?

Ia mencoba memfokuskan diri kembali pada adiknya yang - ia yakin akan dijadikan sandera.

Dunia HalilintarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang