BAB 43

14.6K 1.1K 130
                                    

LUNAR

Kami tiba di Madrid sekitar pukul tujuh malam. Aku sempat berharap bahwa langit masih terang, tapi aku lupa bahwa ini bulan Desember. Matahari terbenam sekitar pukul enam dan terbit sekitar pukul delapan pagi. Ya, malam akan lebih panjang di musim dingin, berbeda dengan bulan july, saat musim panas, dimana sunset baru terjadi sekitar pukul sembilan malam dan sunrise justru lebih awal yakni sekitar pukul 6-7 pagi.

Kami menginap di salah satu hotel bintang 5 di tengah kota Madrid, yang cabangnya juga ada di berbagai belahan dunia, termasuk Jakarta. Aku sekamar dengan Reyna, sedangkan Reeves dengan istrinya, Papi – Mami Sean, Om dan tantenya, lalu Sean sendirian.

Reyna langsung melakukan room tour kamar kami. Kamar kami ukuran standard, tidak yang terlalu luas, tapi fasilitas dan interiornya sangat mewah.

"This is our queen size bed, ada bantal bersarung emas, feels like pricess from Spain..." Reyna memegang bantal sambil tertawa, lalu berjalan ke balkon.

Aku duduk di sofa, tidak menyimak celotehan Reyna selanjutnya dan membuka ponsel untuk memberi update kabarku ke Mama. Jakarta lebih cepat 5 jam dibanding Madrid, sehingga di sana sudah pukul 11 malam. Mama mungkin sudah tidur, tapi aku tetap mengirimkan pesan agar beliau tidak khawatir.

Setelah pesan terkirim, aku mencoba mengarahkan kamera untuk membidik beberapa sudut kamar. Kuputuskan untuk mengunggah foto yang memperlihatkan jendela kamar yang menghadap ke balkon dan pemandangan berupa bangunan bergaya Eropa di depannya.

Baru sekitar 2 menit, Marsha langsung membalas unggahan story-ku.

Marsha : Sekamar sama Sean, Lun?

Lunar : Nggak lah gilaaa... Ini kan liburan keluarga Sha. Ada nyokap bokapnya

Marsha : Siapa tauuuu kan udah mau jadi mantu

Lunar : Audy kaliii jadi mantu

Marsha : Siapa tau disana Sean tiba2 ngelamar

Jempolku seketika berhenti mengetik, mataku terpana pada satu kata paling terakhir

Marsha : Anjritt!! Beneran, kalo tiba2 dia ngelamar gmn?

Lunar : Tidur Sha tiduuuur....

Entah kenapa jantungku tiba-tiba berdebar lebih kencang. Bagaimana kalau prediksi Marsha benar terjadi? Apa yang harus kukatakan?

Pikiranku berkelana sampai-sampai baru saja menyadari bahwa Reyna memanggil namaku sejak beberapa detik lalu.

"Eh, iya?"

"Pacar lo nyariin tuh," ucapnya, yang disusul sosok Sean berjalan di belakangnya.

"Mau jalan-jalan? Sambil cari makan malam...." tanya Sean. Ia bersandar di dinding, kedua tangannya masuk ke dalam saku. Wajahnya terlihat sangat tampan. Aku baru menyadari bahwa hidungnya yang paling mancung di antara saudara-saudaranya. Apa dia benar-benar calon suamiku? Sial! Aku jadi teringat kalimat Marsha.

Aku mencoba menjernihkan pikiran. Well, malam ini agenda kami memang bebas, sebelum besok agenda rombongan. Mengingat kami telah menempuh perjalanan cukup panjang, sehingga kami bisa memilih beristirahat, menikmati fasilitas hotel yang masih tersedia, atau jalan-jalan.

"Kamu nggak istirahat? Besok 'kan mau ketemu calon client bareng Papi kamu," balasku, mengingat agenda mereka yang akan terpisah dengan lainnya.

"Masih panjang waktunya..." Sean menyusulku duduk di sofa, lalu menyelipkan anak rambutku yang berantakan. "Tapi kalo kamu capek ya nggak usah, kita order makanan buat makan di sini aja."

THE FAULT IN OUR PASTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang