0.3 | Prolog

12 0 0
                                    

| 0.3 |

P R O L O G

.

.

Sudah lebih dari lima menit cairan berwarna keemasan dalam gelas di genggaman Malken berputar-putar hingga gelembung yang semula memenuhi sisi dalam gelas kini mulai menghilang. Kedua siku Malken bersandar pada pagar yang memisahkan teras gedung dengan permukaan tanah 7 lantai di bawahnya, walau kemeraahan mulai mewarnai hidungnya akibat terpaan angin malam Kota Bandung, Malken tampak lebih terganggu dengan konflik batin yang telah mengaduk-aduk bagian dalam dirinya, persis sampanye yang terus berputar dalam gelas di genggamannya

Kakinya yang terbungkus Christian Louboutin itu samar-samar dapat merasakan dentuman familiar dari lounge tepat satu lantai di bawahnya, saat itu barulah ia meletakkan gelas sampanye dengan asal di atas material beton yang menjadi pembatas antara dirinya dan udara bebas. Cukup satu terpaan angin sedikit lebih kencang untuk mengejutkan pejalan kaki di bawah sana dengan gelas sampanye miliknya itu.

Moth to A Flame

Lagu yang dibawakan The Weeknd itu pernah menjadi favoritnya, saat akhir pekannya dipenuhi agenda lompat dari kelab ke kelab malam lainnya. Rasanya sudah lama sekali sejak ia mendengar irama yang ia rindukan tersebut, satu semester mungkin ada.

Satu semester. 

Enam bulan sudah terlewati sejak pertama munculnya artikel yang berhasil menggulingkan hidupnya yang setenang air dalam ember, enam bulan kemudian ember tersebut sudah terjungkal dan air yang tak mampu ia selamatkan tumpah kemana-mana; terampas darinya segala hak istimewa, dan nama belakang dengan segala super powernya kini hanyalah sebatas nama, kelulusannya ia rayakan sendirian di teras gedung hotel yang menaungi Farewell Party wisudawan Universitas Martadinata.

Kedua telinga Malken menangkap suara hak sepatu dari arah belakang yang kian mendekat lalu terhenti ketika terdengar suara barang jatuh berserak, dengan malas Malken menoleh untuk melihat siapa yang telah menginterupsi kesendiriannya.

Satu hal yang dapat Malken simpulkan dari enam bulan belakangan ini adalah sifat tersembuyi Yang Maha Esa; Maha Bercanda. Dan dari segala candaan yang telah dilempar-Nya belakangan ini, Malken sangat tidak menduga candaan baru yang kini terpampang di depannya; Felicia Amarta Angkadjadja memunguti rokok yang berserak kembali kedalam kotak di tangan kirinya dan satu batang diapit di bibirnya.

Perempuan penyandang nama belakang yang ditintai warna merah oleh keluarga Malken itu tampak tak peduli dan terus merogoh tas selempang miliknya sambil melanjutkan langkah ke tepi pagar tepat di sisi Malken.

"Nih," 

Malken menyodorkan Zippo miliknya, dan perempuan yang kerap disapa "Cia" itu mengangkat pandangannya.

Tangan Cia mengambil pemantik api logam yang terasa berat di tangannya itu sebelum memantik sekali-dua kali sambil menghisap ujung rokok hingga terlihat bara merah menyala sebelum ia sodorkan kembali Zippo milik Malken.

"Thanks" Ucap Cia singkat namun matanya bolak balik mencari rokok yang tak terlihat ada dimanapun sekitar Malken. 

Terus buat apa dia pegang korek? Batin Cia

Malken hanya menjawab dengan gumaman, 

"Consider yourself lucky gue lagi gaada energi buat ngadu ke keluarga Angkadjadja kalau cucu perempuannya ngerokok di Bandung" tambah Malken.

Entah candaan apalagi yang direncanakan Semesta dengan mempertemukannya dengan Cia sekarang. Embernya sudah jatuh, ancamannya barusan hanyalah bagaikan acungan sendok di tengah pertarungan senjata, perempuan di sebelahnya ini jelas lebih dari mampu untuk mencemooh dengan bermain-main di atas genangan airnya yang terlanjur tumpah.

Gerlap GulitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang