One Night

35 0 0
                                    

Leamore Amora's POV

"Shh... pusing banget," gumamku seraya memijat-mijat pelipisku yang berdenyut-denyut dahsyat.

Tekanan-tekanan yang kuberikan rasanya tidak cukup untuk membuat kepalaku lepas dari rasa pening yang menyerangku saat ini. Entah apa yang menjadi alasan aku bisa sampai sepusing ini?

Mungkin ini efek samping dari pekerjaanku yang menjabat sebagai sekretaris dari Direktur PT. Alpha Prime Dei. Tempatku bekerja ini sudah terkenal akan kesuksesannya, orang awam saja kalau ditanya perusahaan penempatan PME mana di Endonezya yang paling bagus alias #1, sudah pasti akan langsung menjawab PT. Alpha Prime Dei. Terlebih, PT tempatku bekerja selama hampir satu tahun ini juga sudah berkali-kali menerima penghargaan Migrant Day dari pemerintah. Entah sudah berapa kali berturut-turut tiap tahunnya Pak Nelson berjabat tangan dengan pejabat pemerintah dari lembaga Eksekutif itu? Aku sendiri pun sudah lose count dan emang udah malas ngitung.

Hari-hariku sebagai sekretaris beliau memang berat, apalagi sekarang kami sedang berada di luar kota. Ini hari Jumat, maka sudah terhitung tiga hari sejak kami menapakkan kaki di sini.

"Hey, you okay, girl?" tanya seseorang di seberang sana dengan nada khawatir yang terdengar jelas.

Suara sahabatku dari seberang telepon berhasil membuyarkan lamunanku.

"Yeah, I'm alright. Just feeling a bit dizzy."

Terdengar suara helaan nafas yang panjang. Aku terkekeh mendengarnya. Giliranku yang bertanya, "You okay, babe?"

Dia mendengus sedangkan aku merasa semakin terhibur. Tawaku pun lepas begitu saja.

Mendengar aku yang tertawa sebebas-bebasnya malah membuat sahabat satu-satuku itu semakin mendengus kesal.

Mencoba untuk menghentikan tawa atau setidaknya berusaha untuk menahan tawa ini, aku pun mengulum bibirku dan menggigit mulut dalamku. Aku tidak mau membuat kekesalannya semakin meningkat. Atau tidak dia akan berkomat-kamit, mengomel-ngomel tidak jelas. Like a caring mother who worries a lot about her lovely daughter.

Terdengar helaan nafas yang panjang, sebelum ia membuka suara, "Listen, babe. Aku tahu kau sungguh menyukai dan menikmati pekerjaanmu sebagai sekretaris itu. I mean, look at your boss. He's a hot damn man! Apalagi dia punya America's ass yang sungguh menggoda! Jarang sekali laki-laki lokal di negara kita punya bokong seseksi itu. I really got you! Tapi-"

Aku melotot hebat. Menggeleng keras. Apa katanya tadi?! Lekas saja aku memotong ucapannya yang tidak benar itu. "Hey, enak aja! Sembarangan kalau ngomong! Alasanku bertahan sebagai sekretaris doi bukan itu ya!"

Walau aku tidak melihatnya, aku bisa tahu kalau Alicia di seberang sana sedang mengangkat satu alisnya. Aku tahu kebiasaannya yang satu itu.

"So what?"

Aku mendengus sebal. "Tentu saja karena bayarannya, Alicia Ferguso!"

Lagi. Aku bisa tahu reaksi sahabatku itu. Dia pasti sedang memelototkan matanya sekarang. Aku terkekeh di dalam hati membayangkan mimik wajahnya saat ini.

"Enak aja! Jangan ubah namaku seenak jidatmu! It's Alicia Ferreira, not Alicia Ferguso!"

Aku tertawa ngakak mendengar balasannya. Sahabatku yang satu ini memang sungguh menggemaskan. Reaksinya selalu membuatku puas karena telah menggodanya.

Aku berdehem, menetralkan tenggorakanku setelah puas tertawa. Lebih tepatnya, menertawakan reaksi lucu Alicia barusan. "By the way, kau bukannya mau tidur ya?"

Alicia mendengus. "Gimana aku bisa tidur sekarang? Kondisi fisikmu sedang tidak sehat begitu."

"Terus?"

HAPPILY EVER AFTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang