Nelson Adams' POV
Sepertinya aku sudah gila. Benar-benar gila. Kewarasanku sudah raib sepenuhnya sejak tadi malam. I'm a mad man for her now.
Bayangan menghabiskan waktu hanya berdua bersama Amor membuat hatiku entah kenapa dilanda dengan perasaan senang yang menggebu-gebu. I've never felt something like this before. Never ever in my life.
Tadinya rencanaku ini hanya wacana sampai kemudian aku tidak sengaja membaca notesnya yang berisi agenda aktivitasnya seminggu ke depan.
Well, okay-okay, aku mengaku, itu bukan tidak disengaja. Aku memang sengaja melihat-lihat isi handphonenya setelah lama bergelut dengan benakku sendiri whether I should explore what's inside her phone or not, tapi lagi-lagi akal sehatku kalah dengan keinginanku yang entah sejak kapan jadi penasaran tentangnya. Anything about her, now excites me so bad. I'm deadass curious.
Tercatat bahwa agendanya sedang tidak sibuk dan dia hanya akan melakukan beberapa aktivitas yang tidak begitu berarti, hanya sekedar mengisi waktu luangnya selama liburan nanti.
Yes, salah satu bentuk bonus yang aku kasih ke dia adalah cuti liburan. We just finished all our available job orders dan sekarang lagi di masa kantor sedang tenang-tenangnya. Nothing much to do walau masih ada beberapa hal yang harus dikerjakan sampai tuntas. Dan semua pekerjaan itu bukan aku dan dia yang bertanggung jawab, they're on my other subordinates.
"Maksud Bapak apa membatalkan kepulangan kita pagi ini?" tanyanya dengan nada datar.
Aku mencoba meneliti ekspresinya, apakah ada raut kekesalan atau lainnya yang tergambar di wajahnya sekarang. But I can't find anything. Sometimes, she has a poker face. Aku nggak tahu apakah aku harus merasa thankful atau sebaliknya akan hal itu. Kalau dilihat dari perspektif business, of course, kelebihan seperti itu sangat dibutuhkan dan sangat menguntungkan. Namun, jika begini, I hate her poker face from now on. Aku jadi tidak tahu moodnya yang sebenarnya. But I'd like to know her more and better than before.
Aku menghela nafas setelah gagal menganalisis moodnya sekarang. Maybe one day, aku bisa lebih lihai menilainya than today.
"Saya mau liburan.." Dia mengangguk, tampak sedang menunggu apa yang akan aku ucapkan selanjutnya. "Tapi saya tidak punya teman untuk diajak liburan bareng."
Dia mengangkat kedua alisnya secara bersamaan. I think she can't do that with just one eyebrow. That's cute.
"So? Hubungannya dengan saya apa ya, Pak?"
Aku tersenyum. "Liburan bareng saya, yuk!"
Oh tidak. Yang barusan saja terlontar keluar dari mulutku bukan kalimat pertanyaan maupun ajakan. Nadaku seolah sedang memberinya pernyataan perintah, aku sadar akan hal itu. Tapi apa boleh buat nasi sudah jadi bubur, sekalian saja aku buat bubur itu jadi terasa lebih nikmat dari yang seharusnya.
"Saya tidak terima penolakan."
Did I just make it even worse?
Aku menggaruk-garuk belakang kepalaku. Nggak gatal sebenarnya, tapi aku jadi bingung sendiri harus bersikap bagaimana. I hope she didn't realize my clumsiness.
Dia nampak mendengus sekilas. Aku nggak tahu kalau dia terpaksa mengangguk atau tidak, but I'm happy that she's willing to spend her holiday with me. Perasaanku melambung tinggi sampai ke gerbang surga. Aku nggak berani masuk ke dalam surga cause I don't know whether I'm worth heaven or otherwise—hell.
But if she's coming with me to inferno, why shall I yearn for paradise?
Aku menggeleng. Belum saatnya. That was too quick for me to make such a progress. Setidaknya untuk saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPILY EVER AFTER
RomanceLeamore Amora, gadis cantik mempesona yang baru saja lulus kuliah dan berhasil mendapatkan predikat sekretaris terbaik sepanjang masa di kantor tempat ia bekerja, PT. Alpha Prime Dei. Nelson Adams, sosok lelaki tampan, mapan, dan berwibawa yang menj...