Dirty Minds

11 0 0
                                    

Nelson Adams' POV

Ini sudah lewat tengah malam dan aku masih saja berkeliaran di luar kamarku. Entah kenapa aku belum bisa menidurkan diri. Daripada sibuk bolak-balik tidak jelas di atas tempat tidur kayak orang gila, aku lebih milih mondar-mandir mengelilingi hotel.

Baru saja aku ingin balik masuk ke dalam kamar, aku melihat seorang gadis tengah berjalan sempoyongan.

Awalnya aku tidak peduli. Selagi aku tidak punya kepentingan dengan siapapun itu, aku memilih untuk acuh tidak acuh. Nggak selamanya kita harus ikut campur urusan orang lain. Takut menimbulkan masalah yang tidak perlu terjadi.

Tanganku yang baru saja ingin membuka pintu kamar terhenti begitu saja lantaran mendengar suara gedubrak yang sangat hebat. Karena penasaran, aku pun menoleh ke sumber suara. Seperti dugaanku, sudah pasti gadis yang tampak sedang mabuk itulah yang menjadi asal suara gedubrak barusan.

Lagi. Karena aku yakin dia tidak kenapa-kenapa, aku lebih memilih untuk melanjutkan aktivitasku daripada mengurusi orang yang jelas-jelas tidak ada status penting di hidupku.

Aku menghela nafas panjang. Perempuan satu ini sungguh heboh. Suara yang ditimbulkannya sangat berisik dan tentu saja siapapun yang masih terjaga di waktu ini pasti merasa terganggu. Termasuk diriku.

Aku mencoba untuk tidak memedulikannya dengan menulikan telingaku. Tapi seolah ada magnet yang membuat aku lagi-lagi mencoba melirik gadis yang berada di sebelah kananku ini.

Keningku berkerut saat aku merasa seperti aku mengenal gadis ini. Shit! Itu Amor, sekretarisku sendiri! Bagaimana bisa dia jadi mabuk begini? Setahuku dia sangat anti dengan yang namanya alkohol. Aku bisa tahu soal itu karena kami sudah berkali-kali menghabiskan waktu bersama dalam meeting dan setiap kali klien kami ada menawarkan minuman beralkohol padanya, dia dengan tegas namun tetap sopan menolak tawaran-tawaran tersebut. Jadi, apa yang membuatnya sampai bisa mabuk seperti malam ini? Aku sebenarnya penasaran, tapi aku sadar itu bukan ranahku untuk ikut campur dalam hidupnya.

Aku hanya bossnya dan dia hanya sekretarisku. Di kantor itu peran yang kami jalankan. Tapi di luar, kami tidak punya peran apapun di hidup masing-masing.

Aku menghela nafas lagi. Entah sudah yang keberapa kalinya malam ini?

Wangi shampo perempuan menyadarkan diriku bahwa aku masih berada di luar kamar, lebih tepatnya berada beberapa sentimeter dari depan pintu kamarku.

Jangan tanya aku, aku juga heran kok bisa-bisanya langkah kakiku membawa diriku mendekat ke arahnya. Bahkan sekarang posisi berdiri kami terlalu dekat dengan kepala mungilnya menabrak dada bidangku.

Dia tampak meringis pelan, mungkin merasa kesakitan akibat bertabrakan dengan dadaku yang keras. Bukan apa-apa, aku juga sadar diri bahwa hasil rajin ngegym membuat dadaku jadi sebidang dan sekeras ini. Tipe dada yang bisa membuat perempuan manapun menggila jika melihatnya, apalagi merasakannya secara langsung. Okay, stop it, back to the reality.

"Amor... is that you?" tanyaku dengan penuh kesadaran.

Oh, tentu saja, itu Leamore! Sekretarisku sendiri. Jujur, kinerjanya patut diacungkan jempol. Aku tidak pernah merasa sepuas ini seumur hidupku dengan hasil kerja seseorang yang menjabat sebagai sekretarisku. I have such high expectations dan Leamore Amora berhasil melampaui semua ekspektasi-ekspektasiku sejauh ini. Jangan khawatir, aku sering memberinya bonus dan hadiah atas setiap pencapaiannya yang selalu berhasil menerbitkan senyuman bangga dan puas di bibirku.

"Kamu mabuk?" tanyaku lagi melihat dia hanya terdiam bisu.

Aku ingin menyentuh bahunya lalu menarik dagunya ke atas supaya dia bisa mendongak menatapku, tapi kuurungkan niatku itu karena itu melanggar personal space di antara kami. Harus berulang kali kuingatkan diriku sendiri bahwa aku bossnya dan dia hanya sekedar sekretaris bagiku. Dan di luar kantor, kami bukan siapa-siapa sehingga aku tidak boleh berbuat di luar batas kewajaran.

HAPPILY EVER AFTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang