Seventeen (END)

464 54 22
                                    

The day before Jian and Alan met.

Alan sangat merindukan aroma Greeceland—sejak ia tiba di unitnya semalam, ia lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tengah—menikmati aroma khas campuran bergamot dan white musk yang berasal dari mesin scent diffuser. Senyumnya berkali-kali mengembang, memperhatikan rangkaian Krisan dalam vas kaca yang menghiasi meja di depannya, membayangkan bagaimana Jian berusaha dengan cara apapun agar tempat ini terkesan hidup karena tak ditempati.

Selama ini banyak yang Alan pikirkan dan rencanakan untuk memulai kehidupan barunya—dimulai dengan pagi ini, ia sudah siap pergi menuju sebuah tempat, membawa sebuah paper box berisi lembaran sketsa Aster buatan Callum dan sebuah foto polaroid dirinya dengan gadis itu. Ia akan membawanya ke paviliun, mengumpulkannya dengan semua lukisan dan foto serupa yang selama ini Callum simpan di ruangan pribadinya, menumpuknya jadi satu, lalu membakarnya di halaman hingga menjadi abu.





Tiga puluh menit sebelum jam makan siang, Ben masih berada di ruang kerjanya. Semenjak Alan mengajukan cuti panjang, pemuda itu memiliki tanggung jawab yang lebih besar, banyak masalah yang terjadi usai keluarga Jemal memutuskan untuk melepas saham dan membatalkan semua kontrak kerja yang berhubungan dengan keluarga Oury.

Di tengah-tengah rasa penatnya, telepon di mejanya tiba-tiba berdering, Ben menghela nafas sebelum mengangkat telepon itu, menjawabnya tanpa semangat.

"Ya?"

"Maaf, pak. Anda memiliki tamu" Hanna bicara dengan sopan dari sambungan telepon.

"Siapa?" Tanya Ben.

"Bapak Cealan Jemal, beliau ingin bertemu" jawabnya.

Ben memijat pelipisnya, sempat tersenyum miring tak habis pikir "Astaga, Hanna. Aku tidak punya waktu untuk bercanda"

Ben kemudian menutup sambungannya tanpa menunggu Hanna bicara, lalu kembali fokus dengan tugasnya. Namun tak lama telepon itu kembali berdering, membuat Ben melempar lembaran dokumen di mejanya lalu memaki.

"Kau tahu aku sudah memecat dua belas karyawan dalam setahun ini, kau mau jadi yang ketiga belas?" Ben menggertak.

"Wow" suara baritone yang tentu saja bukan sura Hanna memekik kaget usai mendengar teguran Ben. "Maaf pak, jika anda tidak berkenan" lanjutnya.

"Alan?" Ben tercengang. Ia buru-buru menutup teleponnya, beranjak berdiri dan melangkah cepat menuju ruang tunggu.

Ben mendengus lalu memasang wajah kesal ketika  sudah melihat Alan berdiri di depan pintu ruang tunggu. Sementara pemuda dengan lesung pipi itu hanya tertawa kecil, lalu membiarkan Ben menyerangnya dengan sebuah pelukan.

"Kenapa mengerjaiku, sialan?" Ucap Ben sembari melepaskan pelukannya. Ia mundur selangkah lalu mengamati Alan yang hanya memakai tshirt dengan jaket denim biru muda, celana ripped jeans, sepatu kets dan snapback.

"Tempat ini bukan pasar swalayan, kenapa berpakaian seperti ini?" Ben protes.

"Aku datang untuk menemuimu, bukan untuk bekerja" Alan berjalan mendahului penuh percaya diri menuju ruang kerja Ben.

"Terserah kau saja" Ben bicara sembari mengikuti langkah Alan menuju ruang kerjanya.

Beberapa karyawan serempak menatap canggung, tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan Alan selama setahun berlalu. Mereka hanya memanfaatkan segelintir kabar burung tak pasti setelah keluarga Jemal memutuskan untuk menyelesaikan kasus keluarga Oury secara tertutup.

"Hanna, tolong hubungi Gemma untuk ke ruangan Ben sekarang" Alan meminta Hanna sembari berjalan melintas.

"Baik, Pak" Hanna menuruti, wajahnya sumringah.

Middle Name | JAEWOO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang