.
.
.Pagi menyapa meski matahari tampak malu-malu menunjukkan ekstensinya dari balik awan. Di sebuah kamar bernuansa abu gelap, gemicir air terdengar dari dalam kamar mandi. Selang beberapa menit, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun keluar dari dalam sana hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggang. Rambut hitamnya tampak basah. Pemuda itu melangkah menuju lemari dan mengambil satu set seragam sekolah yang tergantung di dalam sana lalu memakainya.
Setelah selesai, pemuda bernama Arutala menatap pantulan dirinya dari balik cermin. Tanpa merapikan rambutnya, ia langsung menyambar tas dan kunci motor yang tergeletak di atas nakas. Lalu keluar kamar dan menuruni anak tangga.
Saat ia sudah berada di lantai bawah, ia melihat ayahnya sudah duduk di meja makan. Dengan langkah malas, ia menghampiri dan langsung duduk tanpa ada niat untuk menyapa. Toh, ayahnya juga tampak tak peduli.
Ayah dan anak itu akhirnya sarapan bersama tanpa mengeluarkan suara hanya dentingan sendok dan piring yang beradu. Sepuluh menit kemudian, keduanya telah menghabiskan sarapan.
Arutala tidak ingin berlama-lama berada di sini, ia segera berdiri dan melangkah menjauh. Namun, baru beberapa langkah suara bariton mengudara membuat ia menghentikan kaki.
"Saya dengar dua minggu lagi, akan ada ujian?"
Sontak, ia berbalik dan menatap Aditama--ayahnya. Pemuda itu heran, darimana ayahnya tahu? Tak mau ambil pusing, ia lantas mengangguk.
"Kamu tahukan apa yang harus kamu lakukan?"
Arutala memutar bola matanya malas. "Iya." Pemuda itu kembali membalikkan badan dan melangkah, namun lagi-lagi ia harus menghentikan langkahnya karena sang ayah kembali memanggilnya.
"Apa lagi?" tanyanya dengan raut wajah yang sudah kesal.
"Jangan lupa, proposal yang kau buat perlihatkan kepada saya tapi besok saja karena malam ini saya tidak pulang."
Ia menghela napas berusaha mengendalikan diri. Tak ingin merusak mood paginya. Ia hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Ia kembali melanjutkan langkah yang sempat ia tunda dan tak sengaja berpapasan dengan seorang wanita. Ia memandang dengan tatapan sinis. Kayak gak ada kegiatan lain selain datang ke rumah orang, pikirnya.
"Pagi-pagi udah ada Mak Lampir, mau nemuin Ayah ya? Tuh, orangnya di dalam. Inget, gak usah drama eneg banget gue liatnya. Kalo mau ambil silahkan, lagian gue bisa hidup kok tanpa pria tua itu." Setelah mengatakannya, Arutala meninggalkan wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MERANGKUL LUKA
Teen FictionPerihal tujuh remaja yang memiliki luka dan berusaha untuk saling ada dan juga menguatkan satu sama lain. Serta berjuang mencari sebuah kebahagiaan yang tak pernah mereka dapatkan. *** Hai.. Ketemu lagi di cerita kedua aku, maaf juga kalo disini ada...