03. Bara Wijaya

78 19 14
                                    

+×+⁵★

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

+×+⁵★

"Pagi, ma."

Seorang pemuda menyapa sembari berjalan menuruni satu per satu anak tangga menuju dapur, tempat di mana sang mama berada.

"Heum ... pagi," balas singkat mamanya, tanpa mengalihkan perhatian dari masakan yang sedang beliau geluti.

Pemuda itu baru saja mendaratkan pantatnya di salah satu kursi meja makan saat sang mama memberikan satu piring berisi nasi goreng dengan satu telur diatasnya. "Nih, sarapan."

Si pemuda menerima piring tersebut. Namun, matanya justru berputar menjelajahi seisi rumah seperti mencari sesuatu. "Papa mana, ma?" tanyanya sambil kini beralih menatap sang mama.

"Nyuci mobil di depan," sahut wanita itu dengan tangan dan mata yang fokus menata piring lainnya di atas meja makan.

Pemuda itu mendadak bangkit berdiri dan hendak melangkah pergi sebelum suara si mama menginterupsi dirinya. "Mau kemana?"

"Mau ajak papa sarapan." Sang pemuda menjawab, netranya bertabrakan dengan tatapan mamanya yang menghunus tajam.

"Duduk, makan," perintah si mama tak ingin dibantah.

"Tapi, ma-"

"Duduk, Bara." Pemuda bernama Bara itu pun pada akhirnya menurut dan balik ke tempat di mana ia duduk sebelumnya.

Diah—mama dari Bara—ikut mendudukan diri di hadapan anak lelakinya. Dua orang itu pun akhirnya mulai menyuapkan makanan yang telah tersaji di depan mereka.

Di tengah berisiknya pertemuan antara sendok dan piring, Bara sejenak merenung, teringat dengan tawaran seorang siswa saat di ruang band kemarin. Bohong, jika Bara mengatakan ia tidak berminat untuk gabung, dirinya hanya ragu dalam mengambil keputusan.

Haruskah Bara meminta izin pada mamanya. Si pemuda melirik sekilas pada wanita yang telah melahirkannya itu. Otaknya telah diambang kebimbangan untuk mengambil keputusan antara izin atau tidak kepada sang mama.

"Ma." Bara sudah memutuskan.

Pemuda itu mendapat deheman atas panggilan yang ia lontarkan. "Bara boleh nggak—ikut ekstrakulikuler band?"

Dirinya menatap penuh harap ke arah sang mama yang kini berhenti dari aktivitas menyuapkan makanan ke dalam mulut. Sorotnya menatap murka pada sang anak. "Nggak."

"Ma-"

"MAMA BILANG NGGAK YA ENGGAK!" Meja makan yang dilapisi oleh kaca itu dipukul hingga menimbulkan suara nyaring memenuhi seisi rumah.

Diah berdiri dengan napas menggebu. "Kenapa, ma ... " Bara ikut berdiri, suaranya bergetar, menatap mamanya dengan netra berair.

"Ada apa ini?" Wijaya—papa Bara—masuk ke dalam rumah ketika mendengar suara keributan. Namun, sepertinya istri dan anak lelakinya itu tak menghiraukan kehadirannya.

Lima Bintang - TXTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang