"Alka Raekal Hilman, bangun!" Wanita paruh baya itu menarik selimut tebal berwarna abu dari tubuh Hilman. Memperlihatkan anak laki-lakinya yang masih tertidur pulas tanpa merasa terganggu sedikit pun sekalipun selimutnya di tarik.
"Hilman bangun atau bunda siram air?" Sontak mata lelaki itu perlahan terbuka mendengar ancaman dari bundanya. Ancaman itu tak pernah bercanda. Pernah suatu waktu ia merasakan dinginnya di guyur air pada pagi hari supaya tidak terlambat ke sekolah. Dan kali ini Hilman tidak mau moments itu terulang kembali. Membayangkannya saja sudah mampu membuatnya bergidik ngeri.
"Cuci muka terus makan. Bunda tungguin," ucapnya sembari menuju dapur mini yang berada dalam satu ruangan yang sama dengan tempat tidur putranya.
•••
"Bunda ngapain lagi ke sini? Padahal kemarin kan udah dari sini."
Anin namanya. Sontak berbalik menatap putranya tak percaya. "Loh, siapa kamu ngatur-ngatur bunda? Tanpa izin kamu bunda bisa datang kapan pun bunda mau. Emang gak boleh?"
Hilman mengusap tengkuknya. "Ya, boleh boleh aja, Bun." Tapi setiap ada bunda pasti waktu tidurku terganggu.
Wanita berumur 36 tahun itu sibuk mengisi kulkas. Rantang-rantang yang kemarin di letakkan dalam kulkas kini di keluarkan kemudian berdecak sebal sebab makanan yang ia bawa kemarin tak sedikitpun di sentuh oleh putranya. Ia lalu berbalik. Berkacak pinggang menatap Hilman yang masih duduk di pinggir ranjang.
"Makan apa kamu kemarin?"
"Makan nasi."
"Bunda serius Hilman!"
"Ya, aku juga serius bunda. Kenapa semua perempuan gak pernah anggap ucapan ku serius sih?" Keluhnya. Bunda mengernyit heran. "Selain bunda, perempuan mana lagi yang anggap ucapan kamu gak serius?" Hilman diam. Pasalnya hubungan percintaannya tak pernah ia ceritakan pada bundanya.
Kini bunda melipat tangan di depan dada. "Oke, itu kamu jawab nanti kalau udah siap. Sekarang bunda tanya lagi, kemarin kamu makan apa?"
"Aku beneran makan nasi bunda," ucap Hilman berusaha meyakinkan.
"Tapi kenapa masakan yang bunda bawa kemarin gak kamu makan?" Terukir rasa sedih di wajah Anin. Kecewa dengan putranya. "Bunda udah susah payah loh buatin kamu makan, khawatirin kamu. Kira-kira kamu makan dengan bener gak, tinggal dengan nyaman enggak di tempat yang kecil ini. Sampai sampai bunda harus bolak balik Jakarta Depok cuma buat mastiin kamu baik baik aja tinggal di sini," ia menjeda kalimatnya sesaat. "Kalau kayak gini terus mending kamu balik aja tinggal di rumah. Gapapa harus pulang pergi Jakarta Depok buat kuliah. Atau bunda harus usulin ke ayah untuk cari tempat tinggal di Jakarta aja biar kamu enggak nge kost lagi?" Hilman mendekati bundanya. Memeluk wanita itu dengan penuh penyesalan. "Maaf udah buat Bunda kecewa."
Perlahan Hilman melonggarkan pelukannya. Menatap lekat wajah yang mulai mengeriput meski begitu kecantikan bundanya tak pernah pudar sedikit pun. "Kemarin gak sempat makan di rumah karena sibuk di kampus. Tapi aku tetap makan kok di kampus. Makan yang banyak malah." Ia berusaha menjelaskan.
"Bunda jangan sedih lagi ya? Nanti aku kabarin bunda selalu. Setiap saat. Supaya bunda gak khawatir lagi."
"Serius kamu?"
"Iya bunda serius. Aku beneran serius sama ucapan ku."
"Yaudah." Bunda mengambil tas-nya di atas meja dapur. "Itu makanan buatan bunda," kepalanya mengarah pada rantang berwarna putih di atas meja dekat kulkas. "Enggak usah di simpan di kulkas lagi, nanti gak kamu makan. Bawa aja ke kampus, makannya di kampus. Paham?"
"Paham bunda."
"Kalau gitu bunda pulang dulu. Ingat ya, kabarin bunda. Selalu."
Hilman mengangguk mengerti lalu mengantar bundanya sampai depan pagar kost putra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebenarnya Kita Ini Apa?
Teen FictionHilman datang dalam hidup Jema. Tanpa diundang datang begitu saja. Mendekati dan selalu menembakkan anak panah pada Jema. "Kalau mahar Lo berapa?" Datang, deketin, lalu apa setelahnya? Jema tak habis pikir apa maksud dan tujuan Hilman mendekatinya...