LB | Prolog

5 2 1
                                    

Hujan deras membasahi semua lingkungan sekitar pemakaman. Tampak seorang gadis yang berdiri di samping batu nisan berlindung di balik payung hitam, menatap batu nisan itu.

Pusara itu kini di penuhi bunga mawar putih yang tampak basah oleh rintik air hujan.

Tercium bau khas hujan yang membuat gadis itu nyaman berdiam diri di samping batu nisan itu. Suara berisik khas hujan mengalahkan keheningan, sehingga gadis itu tak bisa mendengar suara apapun selain suara rintik deras hujan.

Gadis itu terlihat tenang berdiri dibalik payung yang melindunginya dari jutaan air yang deras berjatuhan. Membiarkan gaun hitam panjangnya basah dan kotor oleh bercak genangan air di sekitarnya.

Di balik ketenangan gadis itu, hatinya terasa pilu. Wajahnya yang terlihat tenang, tapi tidak dengan air matanya yang terus membanjiri pipinya. Gadis itu menangis dalam diam dengan senyum getirnya.

Berdiri di samping Pusara sang Ibu yang telah menghadirkannya ke dunia, mengasuh, juga membesarkannya hingga usianya yang menginjak umur sepuluh tahun.

Bertepatan di hari ulang tahunnya yang ke sepuluh, sang Ibu meninggalkannya untuk selamanya. Membiarkan gadis ini menempuh jalannya sendiri tanpa bimbingan sang Ibu.

"Bunda.. kenapa Bunda harus pergi? Kan Adistia jadi takut.. Adis takut..." Gumam gadis itu begitu lirih.

Samar-samar terlihat pundak gadis itu bergetar. Tak kuat menahan rasa pilu yang mengekang hatinya. Bahkan gadis itu belum bisa menerima kenyataan bahwa ibunya telah pergi. Ia harus menerimanya dengan paksa.

Beberapa menit pun berlalu. Gadis itu pun menghapus air matanya dengan tangannya. Gadis itu pun kembali tersenyum. Mencoba menerima kenyataan ini sekali lagi.

"Bunda, baik-baik di sana ya? Nanti Adis kesini lagi bawa bunga baru buat Bunda..." Ucapnya dengan suara serak bekas isak tangisannya.

Adishree Dayita Adistia Mahendra.

Itu nama lengkap gadis yang kini sedang mengusap batu nisan berukir nama ibunya di sana. Gadis yang kerap dipanggil Adistia itu pun berjongkok di samping batu nisan ibunya lalu mengecup batu nisan yang basah itu perlahan.

Selepas Adistia membacakan salam perpisahan untuk pusara ibunya. Adistia pun melangkahkan kakinya pergi meninggalkan area pemakaman itu.

Payung hitam yang di genggam Adistia pun ia genggam erat kembali, masih berusaha menguatkan dirinya untuk menerima kenyataan.


꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷


BRAK!

"Ayah.. mereka siapa?" Tanya Adistia panik ketika sesampainya di ruang kerja Ayahnya. Dengan sedikit penekanan di kata 'mereka'.

Adistia masih tak menyangka Ayahnya tak mendiskusikan hal apa pun tentang mereka pada dirinya setelah setahun kepergian ibundanya.

Pria yang sudah berumur tiga puluh lima tahun itu hanya berdecak kesal. Kemudian menatap putri kandung satu-satunya dengan tatapan dingin.

Seolah-olah mengartikan bahwa pria itu tak suka melihat kehadiran putri kandungnya itu.

Adistia mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan emosi yang sudah meluap tak keruan. "Siapa?" Tanya Adistia sekali lagi. Pria itu hanya diam.

"Ayah jawab-"

"DIAM!"

Sontak Adistia diam mematung di tempat. Dengan perasaannya yang sudah yakin benar. Adistia sudah tahu apa jawaban yang sebenarnya.

"Ayah nikah lagi kan?" Ujar Adistia tampak sedikit terbata namun tegas pada poin yang tepat.

Terlihat butiran bening yang terkumpul di ujung kelopak matanya hendak jatuh, namun Adistia tetap menahannya. Dengan senyum sinis yang terpasang di bibir Adistia, Adistia melangkah pergi meninggalkan ruangan pria itu.

Sebelum melangkahkan kakinya keluar, Adistia dengan terpaksa berkata. "Selamat atas pernikahannya, ayah."


꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷


"Lepasin.. Lepas rambut aku kak-AKH!"

"GUE BENCI BANGET SAMA LO! KENAPA NYOKAP GUE YANG HARUS NIKAH SAMA PRIA YANG NYATANYA LO ANAKNYA?! GAK SUDI GUE JADI KAKAK LO NGERTI?"

"GUE TETEP GAK ANGGEP LO ADEK GUE!"


꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷


PLAK!

"KELUAR KAMU DARI SINI! SAYA GAK MAU LIAT WAJAH KAMU!"


꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷


Hingga kini, Adistia berusia 17 tahun...

Air bening itu terus berjatuhan membanjiri pipi putih beningnya Adistia. Adistia pun mendongakkan kepalanya menatap langit malam yang dingin nan sunyi. Adistia tampak frustasi.

"Tuhan, kenapa aku gak bisa ikut sama Bunda?"

Ah, bukan. Bukan seperti ini.

"Setidaknya aku berharap aku bisa hidup tenang dan bahagia dengan orang yang bisa mengerti aku..." Meski itu bukan bunda.


꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷


"HEY?! AWAS!"

BRAK!!


꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷


Sayup-sayup suara sirine ambulans terdengar di telinga Adistia.

Samar-samar sepasang mata Adistia menangkap keadaan sekelilingnya yang di penuhi oleh orang-orang asing.

Kesadaran Adistia perlahan-lahan mulai hilang karena tak bisa menahan rasa sakit yang hebat menghantam kepalanya.


꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷


Jangan lupa kasih bintang yaa ⭐

Terimakasih >< ♡

Lembar BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang