LB | Bab 1

2 1 0
                                    

꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷

"Apa dia masih belum bangun?" Tanya seorang lelaki remaja berusia 17 tahun itu dengan cemas yang berjalan di samping seorang dokter yang tak lain adalah kakaknya sendiri.

"Saat ini masih belum ada kemajuan tentang hasilnya, Kiran," Ujar dokter bernama Dhanya, wajahnya tampak sedih membayangkan pasien yang sedang ia tangani. Dhanya menghela napasnya sejenak menenangkan pikirannya agar tetap tenang.

"Kita tidak tau kapan ia akan bangun, jadi sabarlah untuk sebentar lagi... Aku cuman bisa bilang ini."

Lelaki bernama Kiran itu hanya bisa mengangguk sembari berpasrah. Rasa khawatir yang tak kunjung usai itu terus menyelimutinya sampai ia memastikan sendiri keadaan gadis itu.

Kiran pun menghembuskan napasnya panjang. "Aku gak mau menyalahin keadaan kayak gini.. tapi pada dasarnya yang bikin dia seperti itu ayahnya sen-"

"Hus! Jangan berbicara sembarangan! Apa kamu gak sadar kita lagi ada di mana?" Tegur Dhanya memotong. Berbisik tegas. Takut ada orang lain yang mendengarnya. Biarpun ia setuju dengan apa yang adiknya katakan, tapi tidak ditempat seperti rumah sakit ini.

"Masih bersyukur kita dapat menemukan dia secepatnya dan menanganinya langsung."

"Aku tau."

Langkah kaki Kiran pun berhenti di depan sebuah pintu kamar rumah sakit VVIP itu. Tangannya terulur meraih gagang pintu itu. Namun tangan yang hendak mendorong gagang pintu kamar pun terhenti.

Dhanya yang melihat itu sedikit bingung, "ada apa?"

"Apa dia masih ingat dengan kita, kak?"


꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷꒦꒷


"Ugh..." Dengan lirih seorang gadis mendapati kepalanya yang tiba-tiba pusing seperti habis di pukul palu besar tak kasat mata. Di saat yang sama, gadis itu kembali menerjapkan matanya beberapa kali, membiarkan matanya membiasakan jumlah cahaya yang masuk ke dalam matanya.

Pusing sekali.

Merasa asing, gadis itu pun menolehkan kepalanya memperhatikan sekitar. Ruangan dengan isi serba putih. Suhu dingin yang menusuk. Bau yang khas. Jelas-jelas ini... Rumah sakit?

Tak lain gadis itu adalah Adistia.

Pandangan Adistia pun beralih pada baju yang ia kenakan. Ternyata benar, kini ia berada di rumah sakit... tapi, kenapa?

Apa yang terjadi?

Dirinya tak ingat apapun yang menyebabkan ia hingga masuk ke rumah sakit. Namun semakin ia berpikir keras, kepalanya semakin pening.

"Ugh, mau tak mau aku harus berhenti memikirkannya sekarang..." Gumam Adistia sembari memijat pangkal hidungnya yang berdenyut nyeri.

Adistia hanya bisa menghela napasnya dengan lemah. Tak ada pilihan lain selain ia harus menunggu seseorang untuk menjelaskan situasinya.

Pandangan Adistia terpaku memandang ke arah luar jendela yang sedikit terbuka. Dengan kain tirai yang sudah tersampir di gagang bingkai jendela.

Terlihat dedaunan pohon yang menari-nari di atas ranting mengikuti alur yang dimainkan oleh semilir angin yang berhembus. Rasanya membuat Adistia tenang menatap dedaunan itu.

Bersamaan dengan itu. Anak rambut Adistia pun terlihat bergoyang-goyang tertiup semilir angin. Yah, Adistia tampak semakin tenang dibuatnya.

Adistia dibuat tak sadar akan kehadiran dua orang yang sedang memperhatikan dirinya. Sedangkan ia memunggungi kedua orang tersebut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lembar BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang