Bening dan Nira kini berada di kantor pusat. Bangunan itu terdiri dari bata tua, hanya ada satu ruangan di sana dengan rak buku yang berjejer apik di situ, di sampingnya ada meja yang di lengkapi kursi yang saling berhadapan beberapa kuris yang berjejer menyamping sekitar sepuluh kursi di sana. Bangunan itu sudah berdiri lebih dari 50 tahun tetapi masih terlihat kokoh dari pada bangunan lain yang terkesan baru. Kantor pusat adalah tempat di mana orang-orang yang ingin membayar pajak bisa datang kesana.
Sejak Bening duduk di kursi kebesarannya, ia sudah di sibukkan dengan buku yang ada di depannya. Sedangkan Nira menyibukkan diri dengan membersihkan ruangan itu.
Mereka sudah berada di sana selama satu jam lebih, namun Bening sebagai tuan belum mau beranjak dari tempatnya.
Asap dengan bau yang khas itu berhembus ke arah Bening tepat di depan wajahnya. Apa lagi cahaya yang ia gunakan untuk meneliti buku keuangannya itu di halangi membuatnya semakin terusik.
"Berhenti merokok, brandal" peringat Bening. Mengundang gelak tawa orang itu, Bening yang mendengar itu hanya menatap jengah Arumi, teman masa kecilnya.
"Kau selalu saja menganggu kesenanganku" keluh perempuan itu setelah tertawa bak orag kesetanan.
"Aku yang menganggu kesenanganmu atau kau yang menganggu ketenanganku" desis Bening kesal, perempuan dengan pakaian bergaya Eropa itu pasti telah membuat masalah, sehingga ia berani merokok di kantor pusat milik keluarganya itu.
"Jangan kesalll" mohon Arumi manja yang di buat-buat membuat Bening menghela nafas lelah, temannya itu benar-benar menjengkelkan.
"Ada apa?, kau selepas bertempur dengan siapa?" Tanya Bening beruntun. Bening menatap Arumi yang duduk di depannya dengan kaki yang ia tumpangkan pada meja miliknya.
"Kau tau si bangka itu!!!!" Arumi dengan asal menunjuk objek dengan penuh amarah. "Dia memaksaku menikah, aku bahkan trauma dengan pernikahan karna si tua bangka itu, dia memang bedebah sialan" masih dengan amarahnya yang meluap-luap. Arumi menatap Bening dengan pandangan sedih dan juga marah, Bening yang di tatap seperti itu hanya diam.
"Ayahmu memang bedebah" ucap Bening menanggapi keluh kesah Arumi "Tapi kekayaannya tida bisa di pungkiri, kau satu -satunya darah daging yang dia miliki lagi pula dia sudah tua menjadi abu begitu mudah" entah sebuah nasihat atau sebuah kata penenang yang di muntahkan oleh Bening, ia hanya ingin membuat Arumi senang dengan kalimatnya. "Tenang saja Arumi kau akan mendapatkan kekayaannya, tahan sebentar"
"Tentu" jawab Arumi malas. "Bening, izinkan aku menginap di kekediaman mu yaaaa, lagi pula akan ada perjamuan tahunan keluargamu" lanjut Arumi dengan wajah yang di buat semenggemaskan mungkin.
"Menjijikkan" ucap Bening menatap wajah Arumi dengan pandangan mengkritik. "Aku akan kembali ke Manor terlebih dahulu, kau bisa menyusulku nanti jangan sampai aku mendengar dirimu itu membuat masalah. " lanjut Bening, mengundang senyum merekah milik Arumi.
"Baiklah, aku berjanji aku tidak akan membuat masalah" ucap Arumi dengan senyum merekah. Bening yang mendengar itu hanya bisa mengangguk tanpa percaya dengan teman masa kecilnya itu.
Bening meninggalkan bangunan tua itu dengan Nira yang ada di belakangnya.
" Peteng wis teka, apa sampeyan butuh cahya, wong enom?" (Sang kegelapan sudah menjemput, apa anda membutuhkan cahaya orang muda?) Tanya seorang pedagang dengan pakaian lusuh dan beberapa lentera yang sudah cukup tua.
"Tentu, saya hanya membutuhkan satu lentera saja" ucap Bening menatap pedagang itu dengan tanpa ekspresi dalam kegelapan.
Pedagang itu memberikan satu lentera kepada Bening, sedangkan Nira yang ada di belakangnya memberikan koin 100 perak kepada Pedagang tua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Aristokrat
Historical FictionMengenai kisah para Aristokrat di masa penjajahan Belanda. Bening tyas pelapa, perempuan dengan paras ayu yang menawan. wanita dengan darah bangsawan yang memiliki banyak rahasia, Langkah demi langkah telah ia lewati untuk sampai di titik ini. Bangs...