Bagian 1: Awal Pertemuan

21 1 0
                                    

Aku mendekatkan wajahku ke wajah pemuda yang sedang tertidur pulas diatas tempat tidurku. Ku tatap lamat-lamat wajah tampan itu, yang tanpa sadar, telunjuk ku sudah tepat meraba hidung mancungnya. Pemuda itu terkejut dan langsung menepis tanganku sembari segera bangkit dari posisi tidurnya. Mata tajamnya menilikku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Aku memberanikan diri untuk menyapa pemuda itu, dengan mengukir senyuman manis dibibirku. Namun, pemuda itu justru menghunuskan pedangnya ke leherku. Sontak aku terkejut dan gemetar. Aku dengan patah-patah meminta pemuda itu untuk menjauhkan pedangnya dariku.

“Haruskah kau menghunuskan pedang ke leher penyelamatmu?”
Lagi-lagi pemuda itu menilikku dengan mata tajamnya, “Kau bukan rombongan bandit semalam?”
“Apakah aku terlihat seperti bandit? Jika aku salah satu dari mereka, seharusnya kau sudah mati sejak sebulan yang lalu. Tidak usah susah payah aku mengobatimu.” Tegasku.

Pemuda itupun melepaskan todongan pedangnya dari ku. Ia terlihat masih kurang sehat, namun lebih baik dari pertama kali aku menemukannya. Aku meminta pemuda itu untuk duduk disampingku agar luka yang belum kering ditubuhnya bisa aku obati.

“Apakah kau tinggal sendirian?”
“Tentu saja tidak. Aku tinggal bersama bandit-bandit itu!.”

Terlihat sudut bibirnya tertarik setelah mendengar jawabanku. Di kaki langit barat, cahaya matahari terlihat amat cantik. Namun, aku baru sadar sejak kembali kerumah aku belum melihat pemuda itu. Tak kusangka, ternyata ia sedang duduk melamun diatas pohon dipinggir tebing dibelakang rumah.

“Sedang apa kau disana?”. Pemuda itu menoleh kearah ku sembari mengulurkan tangannya “Melihat matahari tenggelam. Apakah kau mau naik?” kuraih bantuan itu dan segera duduk menjajarinya. Kami sudah cukup lama duduk disana, melihat langit yang berganti warna yang ditemani bulan serta bintang-bintang.

“Suatu saat aku pasti akan kesana” ku menunjuk lembah yang penuh dengan kerlap kerlip lampion.
“Sejak kecil aku selalu ingin kesana. Namun, ibu selalu melarangku. Ibu selalu bilang jika tempat itu penuh dengan para penjahat. Mungkin bandit yang mencelakaimu juga berasal dari sana.” “Darimana asalmu?”

“Jauh. Aku dibesarkan di kota terpencil. Disana hanya ada beberapa anak muda seusiaku. Sisanya hanya orang tua biasa yang berkerja mencari kayu.”

“Lalu, kenapa kau bisa sampai  terluka disini?” aku meniliknya.
“Sekitar dua bulan yang lalu, rumahku kerampokan. Ayahku meninggal dalam peristiwa itu. Namun sebelum menghembuskan napas terakhirnya, dia memberikanku lencana ini. Dia tidak sempat mengatakan apa-apa padaku. Badit-bandit itu seperti sengaja menargetkanku. Aku berlari kesembarang arah hingga akhirnya sampai disini.”
“Jadi, kau ingin mencari pemilik lencana itu?” kutanyakan dengan nada bersemangat.

Pemuda itu hanya menoleh kearahku dengan kebingungan, “Mungkin saja dengan mencari tahu pemilik lencana ini, aku bisa tahu mengapa para bandit itu ingin membunuhku.” 

Aku tersenyum kegirangan mendengar itu, “Bolehkkah aku ikut?” “TIDAK.”

Aku melotot padanya “Kenapa? Aku sudah menyelamatkan nyawamu. Bukankah seharusnya kau membalas budi. Dasar pria tidak tahu balas budi.” Aku menggerutu padanya.

“Bagaimana aku bisa membawa gadis yang baru aku temui? Bagaimana jika kau hanya menyamar? Bagaimana jika kau memang orang kepercayaan bandit-bandit itu? Bisa mati dua kali aku.”

Aku melirik kesal dan bergegas turun dari sana, “Bukankah kau masih hidup sampai sekarang.”

Tidak selang berapa lama, pemuda itu ikut bergabung ke meja makan bersamaku untuk makan malam. Namun, aku tidak menggubrisnya sama sekali. Aku masih kesal mendengar perkataannya tadi. Seharusnya memang tidak usah aku menolong orang asing sepertinya.

“Kau marah padaku?” ucapnya sembari meliling ku. Aku tidak meresponnya sama sekali bahkan aku mengganggapnya tidak ada disekitarku. Aku terus melakukan apa saja agar tidak berhadapan dengannya. Namun, pemuda itu terus menerus menanyai ku. Ia mencoba membujukku agar berbicara dan berbaikan dengannya.

“Baiklah, kau boleh ikut.” Ucapnya dengan frustasi. “Tapi kau janji tidak akan menjadi beban atau merepotkanku selama perjalanan. Aku hanya akan membawamu kelembah Solok dan mulai dari sana kita berpisah.”

Aku menoleh padanya karena tidak bisa menahan rasa senangku. Aku menyetujui semua persyaratan yang ia berikan. Kami sepakat untuk berangkat besok pagi. Aku tidur lebih awal agar tidak terlambat bangun pagi besok. Takutnya jika aku terlambat, pemuda itu akan meninggalkanku dan mengingkari janjinya untuk membawa ku ke lembah Solok. Namun, sepanjang malam aku tidak bisa tidur. Aku terlalu bersemangat untuk perjalanan besok pagi karena itu adalah perjalanan pertamaku keluar dari gunung Tian. Selama dua puluh tahun aku hanya melihat lembah Solok dari atas pohon dibelakang rumah. Tidak kusangka, besok adalah kesempatan emasku untuk kesana.

                            ***********

Matahari pun terlihat dari kaki langit Timur. Seperti biasa udara pagi disini sangat segar. Aku bersiap-siap untuk keberangkatan ini. Namun, aku sudah tidak melihat pemuda itu dikamarnya. Ia bahkan tidak ada dibelakang rumah ataupun diatas pohon. Aku sangat kesal karena ia meninggalkanku padahal aku hanya terlambat bangun berapa menit saja dari jadwal yang disepakati kemarin. Ia bahkan tidak bisa menunggu. Jika ia tidak bisa menungguku setidaknya ia harus membangunkanku bukan malah meninggalkanku begitu saja.

“Kupikir kau tidak akan ikut ke lembah Solok. Rupanya kau benar-benar sudah siap pergi.” Suara pemuda itu memecahkan rasa kesal dan sedihku. Aku menoleh kearahnya dan melihat ia membawa setandan pisang. Aku melihatnya tak percaya. Rupanya pemuda itu tidak meninggalkanku, ia hanya sedang menacari perbekalan untuk perjalanan kami.

“Ada apa? Kenapa kau memelototiku?”
“Kupikir, kau meninggalkanku.”
Pemuda itu berjalan kearah ku, “Aku adalah pria yang tahu balas budi. Jadi mana mungkin aku meninggalkanmu. Sudah ayo sarapan dulu.”
"Kenapa kau tidak bilang jika mau pergi mencari buah?”
“Aku lihat kau sedang tertidur pulas sekali tadi. Jadi aku tidak berani mengganggumu, karena sepertinya kau tidak bisa tidur nyanyak semalam.” Jawabnya dengan mulut yang penuh pisang.

“Aku harus memanggilmu siapa? Setidaknya di perjalanan pertamaku menuruni gunung Tian aku tahu nama orang yang pergi bersamaku.”
“Panggil saja tuan muda” godanya.

Aku hanya terus memelototinya.

”Bercanda. Sepertinya kau tipe perempuan yang tidak bisa digoda. Panggil saja aku Bian.”
“Baiklah, tuan muda Bian.” aku berganti menggodanya.
“Kau? Aku harus memanggil mu apa, nona?”
“Panggil aku nona Li.”

Kami pun berangkat setelah perdebatan panjang. Sepertinya dulu aku salah berpikir jika ia pemuda tampan dan baik. Aku akui ia adalah pria idamanku, tapi sikapnya itu sangat menyebalkan. Wajar saja dewa memberinya wajah yang tampan karena itu untuk menutupi sikap brengseknya.

                                  *********

Perjalanan ini terasa cukup panjang, meskipun aku sudah terbiasa melewati rute hutan ini tapi tetap saja aku lelah. Aku juga tidak bisa menggunakan kekuatanku didepan manusia.

“Aku lelah sekali. Tidak bisakah kita istirahat sebentar.” Aku merengek padanya.

"Kenapa kau lemah sekali, ha? Bukankah kau yang sangat bersemangat ikut denganku. Kau sudah janji tidak akan menambah bebanku. Ayo, jalan."

The King and His Fairy WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang