Aku terbangun dari tidur karena suara kokokan ayam hutan. Rupanya semalan aku ketiduran. Namun, belum penuh kesadaranku, sudut mata kiriku menangkap sesuatu yang sedang mengarah kearahku dan Bian. Benar saja. Tiga ekor babi hutan sedang dengan gesit berlari kearah kami. Aku mencoba untuk membangunkan Bian. Tapi astaga, badannya amat panas. Aku menggoyang-goyangkan badannya sembari mengatakan bahwa kami akan segera disruduk tiga babi hutan.
"Babi hutan?" Bian menoleh kearahku.
Aku menggangguk. Bian dengan gesit meraih tanganku. Ia berlari sangat kencang. Aku baru kali pertama melihat orang demam tinggi bisa berlari kencang karena babi hutan. Sudah setengah jam kami berlari. Namun, ketiga babi hutan itu juga tidak kelelahan mengejar kami. Kecepatan Bian pun semakin berkurang. Peluhnya bercucuran. Napasnya tersengal. Badannya pun semakin panas. Benar saja, Bian pingsan ditengah pelarian kami dari babi hutan.
Tak sempat aku berpikir. Aku meraih tubuh Bian yang terkulai di tanah. Aku membawanya keatas pohon besar didepan kami. Ranting pohon tua itu cukup besar sehingga cukup untuk membaringkan Bian. Tiga babi hutan itu pun belum menyerah. Mereka mengendus-ngendus dari bawah sana. Perbekalan kami juga tertinggal. Bian terus menggigil kedinginan. Wajahnya pucat. Aku terus memeluknya.
"Bian, jangan tidur." Ku pukpuk pelan pipinya.
Keadaan Bian benar-benar kritis. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya terus memeluknya dan meminta ia untuk tidak tertidur. Aku terpikirkan satu cara yang tidak mungkin gagal. Mungkin saja dengan begitu, aku bisa menyelamatkan Bian.
***************
Aku terbangun dari tidurku karena sinar matahari telak mengenai mata. Tapi lagi dan lagi aku tidak melihat Bian disampingku. Entah apa yang dipikirkannya. Senang sekali ia menghilang.
"Puk!".
"Mencariku? Aku memetik buah-buahan. Aku tidak enak mengganggu mu. Apakah kau terluka karena babi hutan semalam?" Ia menilikku dengan lembut."Eh. Aku baik-baik saja."
"Tapi pakaianmu penuh darah. Apakah ada yang terluka? Biar aku obati. Aku bisa mencarikan obat herbal untukmu. Tadi waktu memetik apel, aku melihat tumbuhan obat liar."Bian terus mengoceh padaku.
"Aku tidak apa-apa, Bi. Kau terlihat cukup sehat karena bisa mengoceh terus. Kau baik-baik saja? Aku benar-benar ketakutan. Kupikir kau akan mati semalam dan aku tidak bisa pergi ke lembah Solok lagi" Aku menggodanya.
Bian hanya ber-puh kesal. Ia memberikan buah apel padaku.
"Buah apel lagi?" Sembari ku gigit apel segar itu.
"Hmm, karna ku lihat kau menyukai apel."Aku hanya menoleh keheranan. Bian pun ikut menoleh kearahku.
"Karna dihutan ini sepertinya hanya ada pohon apel. Jadi, aku mengambil saja apa yang ada. Bukan karna kau suka apel."
"Aku hanya bertanya. Tidak perlu kau marah-marah" Aku tersenyum menggodanya."Kau benar-benar ingin ke lembah Solok?"
"Hmm" aku menggangguk.
"Tenang saja. Aku pasti akan membawamu kesana."**************
Akhirnya, kami tiba didesa Qin. Aku dan Bian saling menoleh dan tersenyum. Akhirnya kami bisa bebas dari kejaran babi hutan, macan liar serta rombongan bandit. Aku dan Bian memang terbebas dari babi, macan dan rombongan bandit. Tapi kami tidak terbebas dari rasa lapar. Perut kami terus bernyanyi riang.
Aku terpikirkan satu cara. Namun dua kemungkinan hasil dari rencana ini. Pertama, jika gagal kami tidak akan bisa makan. Mungkin saja, kami juga harus dipenjara. Kedua, kami bisa makan dan kenyang. Aku memberitahukan rencana ku ini pada Bian. Awalnya Bian menolak. Tapi akhirnya dia mau melakukannya. Rencana ini cukup berjalan lancar. Tapi tiba-tiba kami mendengar seseorang berteriak. Aku dan Bian menoleh bersamaan.
"Dasar kalian berdua pencuri. Tolong ada pencuri" teriak pria tua pemilik kedai makanan.
"Habislah kita" ucap kami bersamaan.Aku dan Bian tidak sempat melarikan diri. Kami sudah dikepung depan belakang. Mereka terlihat siap untuk menjatuhkan pukulan. Tiba-tiba saja Bian berlutut dan menangis. Aku kebingungan melihatnya.
"Maafkan kami tuan. Kami hanyalah pengembara. Ditengah perjalanan kami dirampok. Harta benda kami habis. Aku tidak bisa membiarkan istriku kelaparan. Jika tuan ingin menghukum. Hukum saja aku. Biarkan istriku pergi." Bian semakin histeris.
Teknik yang digunakan Bian ternyata ampuh. Tatapan mereka berubah. Mereka terlihat lebih jinak. Aku pun segera mengikuti Bian. Berlutut dan menangis menjajarinya.
"Maafkanlah suami hamba tuan. Ia hanya berusaha menjadi suami dan ayah yang baik."
Bian melirikku. Namun ia terus melanjutkan sandiwaranya.
"Ia tidak rela membuat istri dan anaknya kelaparan tuan. Usia kandunganku pun baru 36 hari. Dia sungguh ayah dan suami yang berbakti tuan. Mohon ampunilah kami." Aku semakin histeris.
Sandiwaraku ini menarik simpati semua orang. Mereka milirik satu sama lain.
"Benar tuan. Biarkan saja mereka. Mereka juga terlihat sangat berantakan." Ucap salah satu pria baya dibarisan massa.
Suara riuh setuju dengan pendapatnya semakin banyak. Semua orang meminta tuan pemilik kedai untuk melepaskan kami. Pemilik kedai itu juga terlihat cukup baik. Jadi, ia melepaskan kami. Ia bahkan memberikan kami satu kotak perbekalan. Kami juga dapat pakaian baru dari pemilik toko kain. Kenapa tidak terpikirkan dari awal saja cara ini. Aku dan Bian tertawa senang.
"Apakah istri dan anakku ini tidak kelelahan" godanya.
"Kan kau yang memulai sandiwara. Aku hanya menambahi sedikit bumbu. Aku dengar orang-orang akan lebih bersimpati pada wanita hamil" Aku menjelaskan dengan malu-malu.Bian hanya tersenyum mendengarku. Kami terpaksa langsung melanjutkan perjalanan. Jika lama-lama didesa Qin, bisa-bisa sandiwara kami terbongkar. Bisa habis kami dipukuli warga.
******************
![](https://img.wattpad.com/cover/372417018-288-k159676.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The King and His Fairy Wife
FanficCerita ini mengambil latar dunia fantasi. Kisah cinta antara manusia biasa dengan seorang peri kecil. Kisah cinta keduanya dimulai ketika pangeran (Biantara) yang hilang berusaha mencari tahu asal usulnya. Ditengah perjalanannya, Biantara bertemu d...