Bian benar-benar pria menyebalkan. Dengan sengaja dia meminta ku membawa semua perbekalan. Aku memang berjanji untuk tidak menjadi bebannya, tapi bukan berarti aku menjadi budaknya yang bisa disuruh untuk membawa kebutuhannya. Jika aku tahu jalan ke lembah Solok, aku tidak akan meminta bantuan pria brengsek ini.
Setelah hampir seharian kami berjalan menyusuri hutan ini, akhirnya kami tiba disebuah penginapan. Perjalanan ini bahkan masih dari kata separuh. Aku dan Bian hanya menumpang istirahat, karena kami tidak punya uang untuk menginap. Bian membuka perbekalan kami. Meskipun hanya pisang, setidaknya kami tidak kelaparan.
"Perbekalan minum kita habis, Bi."
"Benarkah? Kau sih, terlalu banyak mengoceh."
"Apa hubungannya?" Aku mendelik kesal.
"Kalau kau terus mengoceh, tenggorokanmu bakalan kering. Kalau kering, kau akan sering haus. Bukankah kau selama perjalanan diam-diam minum dibelakang ku?"Meskipun apa yang dikatakan Bian masuk akal, namun tetap saja aku kesal. Ia tidak seharusnya bilang begitu pada seorang gadis. Aku terus menghabiskan makan siang ku dan Bian meminta air minum kepada pemilik penginapan. Ia kembali dengan tiga wadah minum yang sudah terisi penuh.
"Awas saja kau banyak merengek, Li. Jika kita kehabisan minum ditengah hutan, aku tidak sudi mencari air minum. Kau sendiri saja yang mencari nanti." Bian berisik mengocehiku.
Aku tidak mempedulikan ocehannya. Aku hanya terus menguyah makan siangku. Bian juga mulai mengunyah jatah makan siangnya, karena dari tadi ia harus mencari air minum. Setelah istirahat, aku dan Bian membereskan perbekalan kami. Kami siap melanjutkan perjalanan lagi. Namun, kali ini perbekalan minum, Bian yang membawanya. Aku tidak tahu, apakah ia takut minumnya aku habiskan lagi atau ia kasihan melihat tubuhku membawa perbekalan sebanyak itu.
**************
Cahaya matahari pun sudah terlihat di kaki langit barat. Hutan semakin gelap. Suara-suara binatang liar terdengar sangat riuh. Aku sedikit takut tapi aku tidak berani mengatakannya pada Bian. Aku takut ia akan menggoda ku. Aku terus menilik kanan kiri takut jika tiba-tiba binatang buas menyerang dari segala arah.
"Kau takut, Li?" Suara Bian memecahkan konsentrasiku. "Tidak. Aku hanya waspada. Bukankah aku tidak boleh menjadi bebanmu."
Bian hanya melirikku sekilas. Namun, aku bisa melihat ia sedikit tersenyum. Ditengah perjalanan, Bian berhenti secara tiba-tiba. Aku kebingungan melihatnya. Apakah ia mendengar sesuatu yang tidak aku dengar? Atau ia melihat sesuatu yang ku lewatkan? Kenapa suasana perjalanan ini sangat mencekam.
"Ada apa, Bi?"
"Sttttt!" Bian hanya menyuruhku diam tanpa memberikan penjelasan.Aku semakin panik. Peluhku bercucuran. Tangan dan kaki ku gemetar. Apakah aku akan mati sebelum sampai kelembah Solok?
"Hahahhahahaha".
"Rupanya kau benar-benar penakut, Li" Bian menggodaku.
"Bisa tidak, tidak bercanda disituasi seperti ini. Ini perjalanan pertamaku turun gunung Tian. Jadi, wajar saja aku sedikit bingung"Bian terus tertawa menggodaku. Kami pun melanjutkan perjalanannya. Akhirnya, kami menemukan tempat yang bagus untuk bermalam. Tempat ini sepertinya sering dikunjungi para pemburu untuk bermalam sehingga tidak terlalu rimbun. Jadi, kami memutuskan untuk bermalam disana dan melanjutkan perjalanan besok pagi. Bian membuka perbekalan kami. Makan malam kali ini benar-benar melepaskan penat karena seharian berjalan dan menghadapi kejahilan Bian.
Kami menikmati makan malam sembari melihat bintang-bintang. Kunang-kunang pun ikut menikmati indahnya malam itu. Aku sunggu tidak sabar sampai ke lembah Solok. Aku ingin membuat lentera yang besar dan menerbangkannya. Setelah makan malam, giliran pertamaku untuk berjaga dan Bian pergi untuk tidur. Ia sengaja sekali membuatku berjaga pada giliran pertama.
***********
"Li. Sekarang giliranku berjaga. Kau tidur sana. Aku tidak mau mendengarmu mengoceh besok pagi karena tidak sempat tidur." Sembari berjalan kearahku.
Aku pun pergi mencari alas untuk tidur. Hari ini cukup melelahkan, jadi aku benar-benar bisa tertidur pulas kali ini. Bian juga sibuk menambah kayu agar api unggun kami tidak mati.
Sinar matahari mulai menembus dahan-dahan. Ayam hutan mulai berkokok. Namun, lagi-lagi aku tidak melihat Bian dimana-dimana.
"Nona Li sudah bangun" godanya.
Aku menoleh kearahnya yang sudah membawa bermacam-macam buah ditanganya. Aku tidak tahu, ia mencuri dari siapa. Tapi setidaknya sarapan pagi ini tidak dengan pisang lagi. Bian memberikan buah apel kepadaku. Rasanya benar-benar manis dan segar. Aku tidak tahu jika gunung Tian ini memiliki buah seenak ini.
"Kau curi dari siapa buah-buahan ini, ha?"
"Heh. Jika tidak mau, tidak usah kau makan." Jawabnya kesal. Aku tertawa melihat tampang kesalnya. Akhirnya aku bisa membalas godaannya selama ini.Setelah membereskan semuanya. Aku dan Bian mulai melanjutkan perjalanan. Bian selalu menoleh kearahku karena aku selalu tertinggal jauh olehnya. Ia selalu menyuruhku untuk berjalan cepat. Menyeimbangkan langkahku dengan langkahnya. Jika ia tidak mau aku tertinggal seharusnya ia saja yang membawa tas isi perbekalan ini. Bian selalu saja mengoceh saat aku tertinggal. Padahal ia sendiri yang menyuruhku untuk tidak mengoceh agar tidak cepat haus.
"Kau akan menghabiskan air minum jika terus mengoceh, Bian"
Ia melotot kearahku. Aku dan Bian berjalan sudah cukup lama, namun tanda-tanda sudah sampai ke lembah Solok belum terlihat. Aku tidak tahu, apakah Bian benar-benar tahu jalannya atau ia hanya pergi kesembarang arah. Perbekalan kami pun tinggal sedikit. Sejak makan siang Bian selalu mengoceh, karena itu ia menjadi lebih sering haus dan menghabiskan air minum.
"Bi, kau benar-benar tahu jalannya? Atau hanya mengasal saja?" Prostesku padanya.
"Percayakan padaku saja, Li. Aku adalah penjelajah hutan terbaik didesa ku." Ia menyeringai dengan bangga.***********
Di kaki langit barat, matahari sudah terlihat setengah. Suasana didalam hutan juga mulai menyeramkan. Aku mulai melangkah lebih cepat dan menjajari Bian. Lagi-lagi ditengah perjalanan Bian menghentikan langkahnya. Kali ini aku tidak akan percaya dengan tipuannya. Aku terus melangkah maju meninggalkan ia jauh dibelakang.
"Biar saja ia bertemu macan hutan"
Namun, tiba-tiba Bian berlari dengan cepat kearahku. Ia dengan gesit menarik tanganku dan mengajakku bersembunyi dibalik pohon besar didepan kami. Wajah Bian benar-benar terlihat panik namun tetap tenang. Ia benar-benar terlihat seperti ksatria. Namun aku segera memecahkan lamunanku.
"Ada apa, Bi?" Aku berbisik. "Kau tidak mencoba untuk menipuku lagi kan?"
"Sepertinya aku mendengar sekelompok orang menuju kearah kita. Aku takut jika itu rombongan para bandit waktu lalu."Aku terkejut. Sementara, aku dan Bian harus menunda perjalanan kami. Bersembunyi dari rombongan orang tidak dikenal. Hampir setengah jam kami bersembunyi dibalik pohon besar itu. Bian juga terus menggenggam tanganku. Ia terlihat benar-benar ketakutan. Peluhnya mengucur deras. Ia terlihat seperti seseorang yang memiliki gejala halusinasi karena trauma.
Setelah merasa aman, kami keluar dari persembunyian.
"Kau tidak apa-apa, Bi?"
Pertanyaanku memecahkan lamunannya. "Eh. Iya. Aku tidak apa-apa, Li."
"Apakah kau mau berjalan sembari menggandengku?"
"Eh. Maaf." Sembari melepaskan genggamannya.Aku menyarankan padanya agar kami bermalam saja dulu disini dan melanjutkan perjalanan besok pagi. Bian pun setuju. Kami mencari tempat yang aman untuk bermalam. Perbekalan kami pun hanya tersisa dua pisang dan setengah wadah air minum. Aku meminta Bian untuk istirahat. Untuk malam ini, biar aku saja yang berjaga. Malam kali ini cukup gelap. Tidak ada kunang-kunang. Tidak ada bintang. Benar-benar malam yang mencekam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The King and His Fairy Wife
FanfictionCerita ini mengambil latar dunia fantasi. Kisah cinta antara manusia biasa dengan seorang peri kecil. Kisah cinta keduanya dimulai ketika pangeran (Biantara) yang hilang berusaha mencari tahu asal usulnya. Ditengah perjalanannya, Biantara bertemu d...