3. Hantaman di Pagi Hari

38 17 3
                                    

Kedua tangan Jisae tersembunyi di saku selayaknya dia ingin menyembunyikan rasa sakit hati. Dia kembali duduk di sofa, menatap wajah Jisoo.

"Aku menahan diri dan merelakanmu pergi agar kau bahagia. Kuharap aku tidak melakukan penahanan diri yang sia-sia."

Mata Jisoo terlihat kurang memahami maksud Jisae. "Aku bahagia, Unnie."

"Aku akan membuat Jisela yatim piatu?"

Senyum lebar Jisoo berubah menjadi tawa. "Unnie masih memikirkan itu? Aku hanya bercanda." Jisoo menggenggam erat tangan Jisae. "Faktanya aku bisa mati tanpanya. Unnie harus ke rumahku lagi. Unnie akan melihat dia juga sangat mencintaiku."

Itu percakapan Jisae dan Jisoo beberapa saat lalu.

Di malam yang sama, Jisae kembali menekan bel rumah dua lantai itu dengan rasa gugup yang sama. Entah apa yang akan menyambutnya, Jisae harap dia bisa bereaksi cukup tenang.

Namun, tidak. Jisae memutuskan tidak akan menahan diri. Kalau pria itu menampar sekali lagi, Jisae akan menamparnya seribu kali sehari. Tidak akan Jisae biarkan Jisoo sehidup semati dengan pria seperti itu.

Jisae bersedekap di depan pintu. Mendongak menatap ke atas seolah tengah berpikir. "Bukankah seharusnya Sooyaa punya kunci duplikat? Pria ringan tangan itu pasti sudah tidur." Jisae memeriksa isi tas Jisoo yang khusus satu malam ini menjadi miliknya.

Bukan sebuah kunci, Jisae menemukan sebuah amplop. Dari bentukannya, itu terlihat masih baru. Tidak seperti benda mudah kusut yang sudah berada di sana selama berhari-hari.

Jisae hampir menarik amplop itu keluar ketika mendengar suara pintu dalam proses dibuka. Dia berdiri lebih tegak merapikan tasnya.

"Dari mana saja? Jisela mencarimu. Aku baru menidurkannya, jadi sedikit lama membuka pintunya."

"Tadi ada panggilan mendadak."

Suho menarik lembut tangan Jisae. "Masuklah, kita harus bicara."

Jisae menarik diri dari Suho yang mencoba memeluk. "Aku lelah. Aku ingin tidur."

"Jisoo ...."

Jisae terdiam kaku ketika Suho memepetnya di pinggiran pintu. Mata Jisae melebar ketika kelembutan tangan Suho menyentuh pipinya.

"Maafkan aku. Aku lepas kendali tadi. Kau ingat aku ada meeting di hotel kemarin? Aku melihatmu bersama seseorang, ditambah kau bilang ke ibuku ingin cerai denganku. Kalau ada yang salah denganku, kita harus membicarakannya. Aku merasa kau sengaja menjauhiku. Kau menyembunyikan sesuatu dariku. Jisoo, aku suamimu."

Bibir Jisae terkunci. Dia hanya bisa diam. Benaknya bertanya-tanya apa yang telah Jisoo lakukan. Kalau Jisoo cinta mati sampai tidak bisa hidup tanpa pria ini, kenapa ingin bercerai?

Hanya ada dua kemungkinan. Yang terjadi memang sesuai perkataan pria itu, atau pria itu berusaha menipunya. Namun, bagaimana mungkin dia berusaha menipu Jisae? Suho mengenalinya sebagai Jisoo. Peristiwa yang pria itu ungkapkan pasti berdasarkan yang dilihat.

"Kau pasti lelah. Kita bisa bicara lagi besok. Kau istirahat saja, aku bisa menunggu."

Jisae masuk ke rumah tanpa sepatah kata. Dia tidak bisa apa-apa karena kelihatannya semua yang salah ada pada Jisoo. Namun, bisa saja Suho salah paham. Mungkin saja Jisoo hanya kebetulan bertemu dengan temannya di hotel itu. Dan untuk permintaan perceraian itu, Jisae tidak punya alasan buatan untuk menyangkal.

Di kamar Jisela, Jisae menaruh tas di sofa tunggal. Meraih sebuah foto di meja nakas. Jisae memandang lekat. Di dalam foto itu mereka bertiga terlihat bahagia. Lagi pula, mana ada manusia yang memajang penderitaan. Jisae hanya berharap Jisoo benar-benar mendapatkan segala yang dia impikan.

Agony Besides LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang