"Aku pulang,"
Gadis kecil itu berjalan gontai memasuki rumah gedheg*-nya. Menyeret tas karung goni lusuh yang warnanya aslinya sudah bercampur dengan warna tanah. Raut muka khas gadis Jawa berusia 10 tahunnya berpeluh. Napasnya terengah-engah dan dadanya kembang kempis di balik baju lusuh putih polos yang ia kenakan. Warna kulitnya sudah agak gosong kecoklatan. Ia baru saja berjalan jauh di bawah teriknya matahari.
Tidak yang menyahut panggilannya.
"Mungkin eyang baru memasak di dapur," pikir si gadis.
Perempuan belia itu kemudian menaiki kasur kamu sederhana buatan kakeknya, lalu mengeluarkan dan menghitung lembaran uang kertas yang ia selipkan di stagen, sabuk tenun yang mengikat kain batik yang ia kenakan.
"Lumayan untuk hari ini,"
Ia baru saja kembali bekerja di rumah meneer* Van Dam, seorang tuan tanah pemilik kebun luas di desa itu. Sekadar membantu menyiram kebun, apesnya juga disuruh ikut mencabuti rumput liar dan memetik cabai. Lalu ia dibayar seadanya tanpa kontrak yang jelas berdasarkan pekerjaan hari itu. Tak ayal, setiap hari ia pulang dengan peluh dan raut muka kelelahan.
"Eyang, mbak Rinta sudah pulang!"
Terdengar suara anak laki-laki kecil dari dalam rumah. Disusul dengan munculnya seorang anak kecil berusia 5 tahun yang menghampiri si gadis bernama Rinta itu. Di belakangnya, sosok yang dipanggil "eyang" juga muncul. Perempuan tua dengan rambut putih yang disanggul sederhana, mengenakan kebaya hitam polos dan jarik lurik hijau keluar dari bilik dapur sambil membawa sepiring singkong rebus yang baru saja matang.
Rinta segera bangkit dari untuk menghampiri neneknya dan menerima singkong rebus yang menjadi menu makan siangnya hari ini.
Eyang putri, julukan perempuan tua itu, mengelus rambut ikal Rinta yang agak berantakan lalu mengekori cucu ke sayangannya itu kembali ke kasur kayu dan ikut duduk bersamanya.
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini, nduk?" Tanya Eyang Putri pada Rinta.
Perempuan kecil itu menjawab setelah menelan sepotong singkong yang telah ia gigit. "Lumayan eyang,"
Ia lantas meletakkan sepotong singkong itu dan mengeluarkan lembaran uang yang baru ia terima pagi tadi. Hendak memberikannya pada Eyang Putri. Tetapi, perempuan itu menolak pemberian Rinta.
"Buat kamu aja nduk, itu kerja kerasmu"
Rinta menunduk. Lalu menyimpan lembaran uangnya kembali di dalam stagen.
"Habiskan singkongnya, lalu istirahat. Eyang ke dapur dulu. Nanti, tolong bawa makanan kakak sama kakekmu ke ladang," ujar Eyang Putri kepada Rinta dan adik laki-lakinya yang terus memakan singkong rebus.
Rinta mengangguk bersama dengan senyumannya. Mengiyakan perintah nenek yang ia sayangi itu.
"Rayi, Kakak mandi dulu," ujar Rinta pada adiknya yang ia panggil Rayi.
Rayi, anak laki-laki berusia 5 tahun itu, mengangguk. Seketika, menandang kakak perempuannya berjalan keluar dan menghilang di balik pintu bambu.
Sekitar setengah jam, Rinta selesai dalam membersihkan badannya. Memakai kebaya putih sederhana yang tidak selusuh tadi dan terlalut jarik batik sederhana yang warnanya memudar. Kemudian, ia melihat wakul bambu yang tertutupi daun pisang dan kain jarik gendongan untuk membawa wakul itu. Jelas itu makanan yang harus ia bawa siang itu.
"Rayi, ayo ikut Kakak," ajak Rinta kepada adiknya yang sedang memainkan pasir di depan rumah. Laki-laki kecil itu menyahut panggilan Kakaknya dan berlari kecil menghampirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Four Guardian
Historical FictionAyahku angkasa Ibu ku bumi. 1st winner of Pandoraverse 2024, held by @Blackpandora_Club