Jungkir Balik | 00

25 3 0
                                    

~Cinta Sendiri~

"Cepek ya, terus mengejar tapi belum juga bisa tergapai"

Pada akhirnya cinta ini akan tetap sama, akan tetap menjadi cinta sendiri. Menunggu jawaban yang sudah lama tak kunjung datang, sekalinya datang sebuah penolakan yang aku terima. Cinta sendiri itu menyusahkan, merepotkan, menyakitkan, tapi justru malah menjadi seperti hal nya nikotin dalam rokok, sekali mencoba malah buat keterusan dan susah untuk melepaskan.

Kalau di pikir-pikir ini sungguh sangat memperhatikan, aku yang terus mengejar, dia yang terus berlari menghindar. Kenapa ya, kenapa di setiap perempuan yang mencintai laki-laki lebih dulu dia tidak akan pernah bisa untuk mendapatkan balasan yang sama. Iya kan? Bukan aku saja kan yang merasakan ini? Di antara kalian juga pasti ada, aku yakin.

Aku cantik. Itu pasti. Tidak ada satu haripun yang terlewat untuk aku merawat wajah, stok skincare ku selalu tersedia tak pernah sekali pun kehabisan. Pokoknya jangan sampai satu hari pun aku melewatkan skincare ku.

Tapi ternyata jadi cantik aja gak cukup buat dia bisa jatuh dan luluh padaku. Aku harus pakai cara apa lagi? Sudah sembilan ratus sembilan puluh sembilan cara aku lakukan cuma buat dapetin perhatian dia, tapi ternyata semua itu sia-sia.

Tipe dia yang seperti apa? Aku gak tahu. Dia terlalu_nghh misterius? Tapi gak juga. Gak bukan terlalu misterius tapi dia terlalu banyak menghindar dariku, dia terlalu kuat untuk menolak kehadiranku, dia belum bisa buat melihat ke arahku, menerimaku dan membuka hati untukku. Tipe dia yang cantik, tapi aku juga cantik_menurutku.

Apa aku santet aja dia? Kita lupakan ilmu padi, dan beralih ke ilmu hitam.

"Cowok yang pake kaos hitam, celana hitam selutut, yang lagi duduk di bawah pohon," ucapku memberikan keterangan pada bocah 7 tahun yang aku geret ke samping rumah kosong dekat lapangan futsal kecamatan ini.

Aku menyuruhnya untuk memberikan bingkisan kecil pada Rian, orang yang aku maksud tadi. Bingkisan yang di dalamnya terdapat cookies coklat dengan bentuk kepala kelinci buatanku. Biasanya setiap satu bulan sekali aku selalu memberikannya cookies dengan beragam bentuk, tapi ya memang aku selalu menyuruh orang lain yang memberikannya bukan aku yang secara langsung berdiri di hadapannya lalu menyodorkan bingkisan pink itu padanya.

Aku terlalu penakut.

"Nanti kamu bilang dari kakak cantik, kalo udah kamu lari kesini aja langsung, nanti kakak kasih uang lima puluh ribu."

Anak laki-laki yang aku ketahui bernama Gunawan itu mengangguk semangat, siapa yang tidak tergiur dengan uang lima puluh ribu hasil dari mengantar makanan ke orang lain, mungkin nanti bocah itu gunain duitnya buat main warnet seharian atau dua hari, tiga hari? Ya siapa yang tahu, kecuali kalau duitnya udah jatuh ke tangan emaknya ya beda lagi.

Gunawan berlari kecil mendekati Rian, aku menyaksikannya di sebalik tembok rumah kosong ini. Aku melihatnya.

Melihat wajah Rian yang mengeryit bingung, melihat bingkisan pink itu beralih ke tangan Rian, melihat Rian tersenyum ke arah Gunawan dengan gerakan bibir yang seperti bilang "Makasih".

Aku melihatnya sampai pada akhirnya Gunawan menunjuk ke arahku dengan Rian yang mengikuti arah tunjuk bocah itu. Dasar Gunawan! Bisa-bisanya dia memberi tahu tempat persembunyian ku. Aishhh menyebalkan.

Gunawan tersenyum lebar, mengulurkan tangan meminta imbalan. Aku yang sudah terlanjur kesal hanya bisa memasang wajah masam pada bocah di depanku ini.

"Nih lima puluh ribu! Lain kali kalo di suruh kayak gini lo jangan kasih tahu tempat orang yang ngasihnya, ini tempat persembunyian, ngerti?"

Jungkir BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang