02. Mereka Yang Beruang Atau Ber-uang

2 1 0
                                    

"Hentikan menatap koran itu, Fatin" ucap Rey sambil tertawa.

Aku yang sadar ucapan Rey segera mendongak menatap Rey yang berdiri dan bersandar di kusen pintu sambil memegang kopi cup di tangan kanannya.

"Harus ku akui, kopi itu lebih menarik daripada kedatangan mu Rey" ucap ku meletakkan koran berisi berita tentang kenaikan harga lagi.

"Melihat berita kenaikan harga lagi? rasanya sudah seperti makanan kita karyawan swasta yang digaji kecil" Rey duduk lalu membuka laptopnya yang telah ia servis berkali-kali itu.

Aku kembali menatap koran yang ayahku berikan koran itu berasal dari media ternama, ya walaupun aku tahu kebanyakan media kurang dapat dipercaya, tidak loh! aku tidak mengatakan bahwa media itu penyabar hoax, hanya saja beritanya kurang akurat.

Aku membuka halaman lain yang memampangkan berita dengan judul besar dan terkesan berlebihan Gawat! Terdapat Kebocoran Data Lagi! lagi? bukankah tahun setahun lalu ini pernah terjadi? ah sial, ku rasa orang-orang itu kesulitan menggunakan teknologi.

Aku meletakkan koran itu di meja dan kembali mengerjakan pekerjaan ku, melayani pelanggan dengan ramah saat seorang pelanggan membeli beberapa barang.

Ini pekerjaan ku, kasir, iya! kasir! kasir itu keren loh, pekerjaan mulia, harus ramah terhadap orang lain dan membantu menghitung total belanjaan mereka. Hanya itu? tentu saja tidak, kasir juga pekerjaan halal loh, setidaknya aku tidak bekerja dibawah kendali para penguasa.

Hari mulai gelap dan aku masih merapihkan beberapa barang di toko ini, aku menata sebuah mie instan dengan merek terkenal, aku selalu membeli ini setelah mendapatkan upah kerja bulanan ku.

"Fatin, ayo pulang, kau tidak ingin menginap di toko ini hingga esok kan?" ucap Raya yang sudah siap dengan tas ransel hitamnya.

"Kamu pikir aku adalah penunggu toko ini? aku bukan sosok yang menggerayangi pengunjung yang membeli barang-barang di toko ini" ucapku sambil meraih tas ransel putih bermotif bunga-bunga ku.

Aku keluar dan mengunci pintu toko dengan hati-hati, tentu saja aku tidak ingin bertanggungjawab jika hal-hal buruk terjadi pada toko ini, aku menggembok rolling door itu dengan keras.

"Tidak perlu seteliti itu Fatin, sekarang pencuri tidak tertarik mencuri toko kecil seperti toko ini" ucap Raya.

"Kenapa tidak? banyak barang-barang yang bisa dimakan dan digunakan, jika aku pencuri aku bisa mengambilnya, namun aku bukan orang konyol yang berharap dibawa ke kantor polisi dalam keadaan babak belur" ucap ku berjalan disamping Raya.

Raya berjalan dengan santai, matanya lurus kedepan, kita berjalan menyusuri kota Jakarta yang masih berisik dengan suara klakson mobil dan motor, bahkan di jam 16.15 saja suasana Jakarta masih terasa ramai seperti siang hari, ya tidak heran, kota besar di Indonesia.

Raya sampai di rumah nya yang luas itu, hei, jangan anggap rumah ku jauh lebih buruk dari Raya, ya jika dibandingkan dengan rumah Raya rumahku kalah, namun tentu saja jika melihat isinya rumah Raya jauh lebih buruk dariku. Tunggu dulu, Raya punya kamar yang sepetak, itulah rumah aslinya, sebuah kamar kost.

Aku sampai di rumah ku yang kata ayah adalah sebuah rumah penuh cerita, melepas lelah ku dengan melihat acara televisi, lagi, lagi dan lagi! konyol!.

"Sialan, tidak bisakah mereka menayangkan acara anak-anak seperti kartun lucu dibandingkan acara bodoh dan tolol seperti ini? acara yang menayangkan berita para artis, tidak berguna" aku mengganti siaran televisi menjadi sebuah berita.

Berita yang berjudul Salah satu anak presiden akan menjabat sebagai gubernur kota Jakarta wah luar biasa berita keren yang aku cari, aku segera memfokuskan mataku pada layar televisi.

"Ku rasa jika keluarga ku berkuasa aku bisa masuk ke gedung tempat mereka bekerja seperti yang aku katakan pada Raya kemarin, oh! tunggu! Raya benar! aku tidak akan bisa masuk ke gedung itu jika aku tidak memiliki keluarga yang berkuasa, aku baru saja memahami pikiran Raya" ucap ku sambil memainkan remote televisi yang ada ditangan ku.

Tiba-tiba seseorang kurir datang mengetuk pintu rumah ku yang terbuat dari kayu itu dan berteriak "Paket!". Aku dengan cepat menoleh kearah pintu dan membukanya.

"Paket untuk siapa, pak?" tanyaku karena aku rasa aku tidak memesan paket apapun.

"Atas nama Mulyadi Sukamulya" ucap kurir paket itu sambil membawa kotak berbungkus plastik hitam.

"Itu ayah saya pak" ucap ku menerima kotak itu.

Setelah kurir itu pergi aku segera kembali masuk kedalam rumahku, aku penasaran, sebelumnya ayah belum pernah membeli barang-barang lewat platform online, aku tahu betul karena ayah hanya memiliki ponsel jadul bermerek Nokia, ponsel yang hanya dapat menelpon, mengirim pesan dan bermain game ular.

Aku penasaran ingin membukanya, namun ayahku selalu mengajarkan untuk tidak lancang membuka, mengambil ataupun mengotak-atik barang yang bukan milik ku, ah! aku rasanya tidak sabar menunggu ayahku pulang untuk ikut melihat isi kotak ini.

"Fatin! ayah bawa semur tahu" ucap ayahku sambil tersenyum masuk kedalam rumah meletakkan satu kantong plastik berisi semur tahu yang terlihat lezat dengan kuah kecapnya.

Ayahku melihat aku duduk di tikar dengan sebuah kotak berlapis plastik hitam di depan ku. Ayahku mengamati kotak itu dari segala sisi.

"Kotak apa ini sayang?" tanya ayahku dengan penasaran.

"Ku pikir ayah tahu tentang kotak ini, karena paket ini atas nama Mulyadi Sukamulya, nama ayah" ucap ku menjelaskan kepada ayahku dengan semangat dan heran tentunya, bukan tidak mungkin aku heran karena ayahku tidak tahu tentang paket itu.

Ayahku membuka paket itu dari lapisan terluar, plastik hitam yang membungkus lalu kardus yang melindunginya dan akhirnya sebuah koper kecil dan saat ayahku membukanya itu berisi uang dengan jumlah besar.

"Wah! kita menjadi kaya mendadak! apakah ini acara televisi yang berjudul uang kaget itu? ayah! ayah hebat!" aku berkata dengan gembira hampir seperti orang bodoh yang melihat hal indah yang akan mengubah hidupku.

"Aku ingin membeli ponsel baru, rumah baru, baju baru dan makanan enak, ayo ayah kita segera lakukan itu!" lanjut ku dengan tatapan gembira.

Berbeda dengan ayahku yang marah dan kesal, dia menutup koper itu dan membungkusnya kembali lalu menghela nafas kasar.

"Mereka masih tidak menyerah" ucap ayahku lalu menyimpan koper itu di lemari pakaiannya.

"Jangan sekali-kali kamu membuka koper itu dan memakai uang itu, Fatin. Ingat, uang itu bukan hak mu, ada banyak nyawa yang mati dibalik uang itu" ucap ayahku.

Wajahku yang bergembira dan bersemangat seketika berubah karena ucapan ayahku yang mengatakan uang itu merenggut banyak nyawa dibaliknya.

"Maksud ayah? ada pembunuhan dibalik uang itu?" tanya ku dengan tatapan penasaran.

"Mereka yang memberinya adalah orang-orang yang ingin merampas kebahagiaan kita Fatin, mereka yang memberinya adalah orang-orang yang tertawa melihat penderitaan kita, mereka memberikan kita uang namun mereka merenggut masa depan kita" ucap ayahku sambil meletakkan semur tahu di piring berisi nasi untuk disantap bersama.

"Siapa mereka ayah?" tanya ku dengan penasaran menatap ayahku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PERADABANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang