Another Victory Ball

58 15 2
                                    

Happy reading, All!

Jangan lupa tinggalkan vote setelah membaca :3
.
.
.
.
.

Tidak ada satu patah kata lagi terucap selama roda-roda kereta kuda berputar di atas jalan Noxeham yang lembap. Bukan berarti tidak ada yang berminat untuk berbicara di dalam kereta itu, hanya saja ....

Jika aku berbicara, bagaimana dia akan menjawab?

Kalimat itu terus berputar-putar di kepala Ane seperti bianglala yang dibangun menggunakan baja kekecewaan. Korset yang melilit pinggangnya kini terasa seperti menawannya dengan tali tambang. Ia sangat ingin bicara, tetapi tiap kali Ane mencoba, suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Seakan memperingati agar tidak gegabah atau kalimat apa pun yang keluar nanti akan mengarah pada pengalaman penuh debaran dan napas berat tadi.

Ane hanya mampu melirik dan mendapati Eros yang menyilangkan lengan. Sesekali memejamkan mata tanpa punya rencana untuk membalas lirikan itu. Masih semenawan dan sesempurna saat tadi napasnya membuat gadis itu gila.

Ane membuka mulut hendak bicara, tetapi pintu kereta telah terbuka dan itu lagi-lagi menutup mulutnya. Si penyihir turun lebih dulu sebelum membukakan pintu kereta lebih lebar lagi untuk Ane. Lalu setelah selop gadis itu menapak tanah, Eros mengambil telapak kanannya. Menggenggamnya Erat seolah telapak mereka adalah kertas dan perangko.

Ia terkesiap dan melirik wajah Eros seketika. Lelaki itu menatap ke depan. “Kusarankan untuk tidak mudah percaya pada siapa pun di sini.” Mereka mulai berjalan. Lebih tepatnya Eros mulai berjalan hingga memaksa kaki-kaki Ane turut melangkah.

“Kau tidak perlu mengajariku hal yang satu itu,” balasnya karena memang ia tidak sedang berniat untuk percaya pada siapa-siapa.

“Oh, ya?” Eros mengerling, dan matanya berhenti pada milik Ane saat gadis itu tidak berencana melihat mata lelaki ini. Tatapan itu lembut. Namun, entah mengapa terlihat secercah kekejaman di sana. Membuat Ane merasa mata laut itu menyindirnya sebab ia sempat bersikap percaya pada Eros beberapa kali. Atau barangkali itu bukan hanya sekadar sikap.

Ane berpaling. “Memangnya kau tidak ingin aku percaya padamu?”

Eros terkekeh menyebalkan. “Aku sudah hidup lebih lama darimu dan aku sudah mengenal diriku jauh sebelum kau mengenalku, Nona Patah Hati. Tapi jika kau bersikeras, setidaknya aku sudah memperingatimu.” Kata-kata itu menciptakan kernyit pada dahi Ane yang sepenuhnya tertutup poni lavender. Awalnya, memercayai Eros memang tidak ada dalam daftar keinginannya. Namun, Ane juga tidak bisa menyangkal bahwa ia pernah tergoda, bahkan berkali-kali tertarik untuk melakukan itu. Parahnya, mungkin telah ada secuil bagian dari hatinya yang telah terkubur dalam kepercayaan pada lelaki ini.

“Apa maksudnya itu?” Ia ingin berlagak sok tidak paham. Tetapi Eros yang sama sekali tak menggubris menyadarkannya bahwa ia benar-benar paham pada pernyataan tadi.

Jalanan menjadi sunyi walau puluhan orang bercengkerama melewatinya. Awalnya Ane tidak berniat memperhatikan, tetapi kini matanya hanya tertuju pada rembulan di balik kastil Noxeham. Kastil yang dibangun dengan batu kristal sebagai ornamen di setiap menaranya. Memantulkan cahaya bulan ke segala sisi sehingga sekitarnya benderang bahkan tanpa adanya lilin sekalipun.

Jika langit malam Solephim terlihat seperti fajar, langit malam di Noxeham benar-benar terlihat seperti malam. Bintang-bintang tertabur rata pada puncak angkasa. Mendampingi bulan dan turut memantulkan cahaya magis ke mana-mana. Bahkan tempat ini terkesan lebih ajaib dari Kota Cahaya walau suhu di sini sepertinya terobsesi untuk menyaingi dinginnya salju.

To Make a Goddess (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang