26. PERJALANAN

58 16 1
                                    

POV KALE

Bandar udara Soekarno Hatta tetap saja ramai walau hari semakin gelap ketika gue sampai. Javier menjemputku enggak lama setelah pulang makan siang. Jelas gue beruntung banget memiliki sahabat seperti Javier. Dia punya energi ekstra untuk mengurus gue dan Aluna.

"Mau ke mana?" tanya Mama saat melihat anak laki-lakinya ini membawa turun ransel yang terisi penuh dan memakai jaket hitam sewaktu di rumah.

"Pergi," gue menjawab sekenanya.

"Ke mana?"

Gue enggak jawab. Gue terus melangkah menuju pintu. Bertepatan dengan itu, suara klakson terdengar. Gue membuka pintu dan menyambut Javier. Sumpah demi apapun, kalau bisa gue bilang, wajah gue yang paling bahagia di sini.

"Kale..., tunggu!" teriak Kara dari lantai atas. Enggak lama setelah itu, dia memelukku dari belakang. Kepalanya bersandar di punggung gue. "Lo hati-hati ya di sana. Jangan macem-macem. Hati-hati juga."

"Eh, ditanya orang tua malah diem aja!" Tiba-tiba Mama menarik tangan gue, dan... tamparan Mama mendarat mulus di pipi kiri gue. Gue hanya menatapnya sambil mengelus pipi kiri.

"Mama!" Kara berteriak. "Mama jangan ngelakuin hal yang sama dengan apa yang Mama dulu lakuin ke aku!"

"Kamu diam!" Satu jari Mama terangkat ke depan wajah Kara tanpa melihatnya. "Punya anak dua-duanya sama aja. Enggak tahu terima kasih! Kurang ajar! Enggak sopan sama orang tua!"

"Emangnya Mama pernah kasih apa ke kami?" Biar gue yang bicara sekarang. "Aku enggak bisa terus-terusan di lingkungan toxic seperti ini, Ma. Sejak SD, kalian selalu nuntut ini-itu tanpa pernah nanyain maunya aku, maunya kami. Sekarang udah cukup, Ma, kami udah besar."

Enggak ada jawaban dari Mama. Hanya saja sorot tajam di matanya kian lama kian mereda.

"Cepetan, Le!" Kara menyeret gue ke arah mobil Javier. "Entar telat kasihan cewek lo."

Javier membuka pintu bagian kemudi, dan melihat gue. Lalu, dilihatnya sekilas ke arah Mama. Dia membungkuk sedikit padanya.

"Kabarin gue kalo udah nyampe." Kara membukakan pintu buat gue.

"Lo gimana, Kak?" Gue khawatir Kara bakalan kenapa-napa selepas gue pergi.

"Gue mau ke tempat Calvin aja. Javier, jagain adek gue ya!"

***

"Nih, tiketnya!" Javier memberi dua lembar tiket yang diambilnya dari mesin print tiket ke tangan gue. "Penerbangan jam delapan. Pokoknya kami serahin Una ke lo, Le. Jangan sampe sakitnya kambuh lagi. Bokap gue wanti-wanti banget soalnya."

Gue mengernyit. "Una kenapa lagi? Bukannya dia ngabarin kalo dibolehin?"

"Ya... gue cuma takut aja sih, Le. Bokap juga lagi usahain buat Una sembuh total. Terus kalian kan jauh dari kami, bukan yang setengah jam nyampe."

"Iya, gue tahu. Udah deh enggak usah bawel kayak Kara." Gue berdecak.

"Lo jangan ngentengin." Javier meminum minuman sodanya sambil berjalan menuju tempat duduk. "Apa gue ikut aja?"

"Apaan, sih? Terus lo mau ngapain di sana? Gangguin orang pacaran?"

"Yaelah pacaran. Pacaran mah enggak usah jauh-jauh ke Jogja. Lagian buru-buru amat, Le, ke sananya. Mau ngejar apa, sih? Kan lo tahu juga Una kecapekan habis acara kemaren."

"Ya gue harus gimana? Gue udah enggak nyaman di rumah. Ini juga ke Jogja atas permintaan Una."

Javier duduk dan bersandar. Dia meneguk minumannya hingga tandas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 23 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SORRY [slow update]Where stories live. Discover now