3

213 26 1
                                    

Hari itu, ketika langit cerah memayungi langkah-langkah ringan Wooyoung menuju klinik, perasaan tegang dan harapan bergelut dalam dada.

Hari ini adalah pertama kalinya ia akan mengetahui jenis kelamin bayi yang tumbuh dalam rahimnya.

Ketika dokter memeriksa dengan saksama melalui layar ultrasonografi, suara detak jantung kecil bergema, menyejukkan hati yang gundah.

"Selamat, Wooyoung. Bayimu perempuan," ujar dokter dengan senyum hangat, "dan tampaknya ia akan menjadi bayi yang besar."

Wooyoung menarik napas dalam, senyum tipis mengembang di bibirnya yang pucat. "Apa yang harus saya lakukan, Dok?"

"Olahraga ringan sangat penting. Berjalan-jalan, senam hamil, dan latihan pernapasan akan sangat membantu. Kamu butuh kekuatan ekstra untuk melahirkan bayi besar. Jangan lupa untuk selalu mengelola stresmu dengan baik."

Wooyoung mengangguk pelan, namun rasa takut dan cemas mulai merambati pikirannya. Apakah ia akan sanggup? Ia menghela napas, berusaha menenangkan hatinya.

Setelahnya, ia melangkah menuju pusat perbelanjaan. Di sana, di antara deretan baju bayi yang lucu dan peralatan bayi yang berwarna-warni, ia menemukan sedikit pelipur lara. Ia memilih dengan cermat, menimang-nimang setiap barang dengan penuh kasih.

Namun, ketika matanya menangkap pemandangan seorang wanita hamil yang ditemani suaminya, wajah mereka dipenuhi kebahagiaan, hati Wooyoung terasa diremas.

Mata mereka bersinar, tangan mereka saling menggenggam erat, penuh cinta dan dukungan. Pemandangan itu menusuk jantungnya. Ia tersenyum pahit, menyadari bahwa ia harus menghadapi semuanya sendirian. Ia menelan ludah, mengusap perutnya. "Aku akan kuat, demi kamu," bisiknya lirih.

Di rumah, ketika senja mulai turun, Wooyoung duduk di sofa usang, merenung. Ia tahu ini bukan jalan yang mudah, namun ia bertekad untuk menjadi ibu yang baik bagi anaknya. Ia mengelus lagi perutnya, merasakan gerakan kecil di dalam sana. "Kita akan baik-baik saja," ujarnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Ia tahu bahwa cinta seorang ibu adalah kekuatan yang tak tertandingi, dan meski ia harus melangkah sendirian, ia takkan pernah merasa benar-benar sendiri.

Bayinya adalah harapan dan cahaya di tengah kegelapan hidupnya.

.

Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah dedaunan, memeluk lembut langkah-langkah Wooyoung yang perlahan menuju pasar.

Hawa pagi yang segar menyapa wajahnya, memberikan semangat baru. Wooyoung berhati-hati melangkah di antara deretan pedagang yang menjajakan dagangan mereka.

Ia tiba di toko sayuran yang pernah menjadi saksi bisu perjuangannya sebagai kuli. Senyum hangat seorang bibi menyambutnya, mata wanita itu berbinar melihat kehamilan Wooyoung.

"Wooyoung! Sudah berapa bulan ini?" tanya bibi itu dengan antusias.

"Sembilan bulan, Bibi. Hari perkiraan lahir minggu depan," jawab Wooyoung sambil tersenyum.

Bibi itu menepuk-nepuk punggung tangan Wooyoung dengan lembut. "Wah, cepat sekali waktu berlalu. Kamu harus hati-hati dan jaga kesehatan. Ini, ambil sayuran ini, gratis untukmu."

Wooyoung awalnya menolak dengan sopan, merasa tidak enak hati. "Tidak usah, Bibi. Aku masih bisa beli."

"Tidak, tidak. Ini dari hati Bibi. Kamu sedang mengandung, perlu banyak gizi," jawab bibi itu dengan tegas namun penuh kasih sayang.

Dengan sedikit ragu, Wooyoung menerima pemberian itu. "Terima kasih banyak, Bibi."

Ketika ia melangkah keluar dari toko, tiba-tiba ia bertemu dengan beberapa teman kulinya dulu. Wajah-wajah yang dulu bekerja bersamanya kini menyambutnya dengan senyum lebar.

"Wooyoung! Lama tidak ketemu! Bagaimana kabarmu?" tanya Mingi.

"Aku baik, terima kasih," jawab Wooyoung sambil tersenyum, merasa hangat oleh sambutan mereka.

Mantan bosnya juga ada di sana, menyapanya dengan ramah. "Kami merindukanmu, Wooyoung. Bagaimana kehamilanmu?"

"Baik, Pak. Hanya tinggal menunggu waktu sekarang."

Melihat bawaan Wooyoung yang sangat banyak, Jongho menawarkan bantuan. "Biar kami bantu bawakan barangmu. Ini pasti berat."

Wooyoung awalnya merasa sungkan, tetapi akhirnya menerima bantuan itu. Mereka mengantar Wooyoung pulang, memastikan ia sampai dengan selamat dan tanpa kelelahan.

Dalam perjalanan pulang, percakapan ringan dan canda tawa mengiringi langkah mereka.

Saat sampai di rumah, Wooyoung merasa lega. Ia berterima kasih kepada teman-temannya yang telah membantunya. "Terima kasih banyak, kalian benar-benar membantu."

"Sama-sama, Wooyoung. Jaga diri baik-baik, ya," ujar mereka sebelum pamit.

.

Hari-hari Wooyoung di kafe semakin penuh tantangan.

Dengan kontraksi yang mulai terasa, ia tetap gigih bekerja.

Pagi itu, bosnya yang baik hati mendekatinya saat ia sedang mengelap meja.

"Wooyoung, kamu sebaiknya istirahat saja di rumah. Sebentar lagi kamu akan melahirkan," kata bosnya dengan nada khawatir.

Wooyoung tersenyum lemah, menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, frekuensinya belum intens. Dilatasi baru bukaan awal-awal. Saya masih bisa kerja."

Namun, takdir punya rencana lain. Saat ia sedang mencuci piring, tiba-tiba air ketubannya pecah. Rasa panik dan ketakutan menguasai hatinya. Teman-temannya segera berlari mendekatinya, menawarkan bantuan.

"Kamu harus segera ke rumah sakit!" seru Seonghwa.

Dengan terburu-buru, San membawanya ke rumah sakit.

Di ruang bersalin, dokter yang bertugas memeriksa keadaan Wooyoung dengan cermat. Wajahnya berubah serius saat menyadari ada sesuatu yang tidak biasa.

"Ini aneh," gumam dokter itu. "Bayi ini tidak melanjutkan dilatasi."

San mencoba menenangkan dirinya dan Wooyoung. "Jangan khawatir, Wooyoung. Kita akan menemukan cara."

Dokter memutuskan untuk melakukan operasi caesar.

Wooyoung dibius dengan setengah sadar, dan ia merasakan setiap getaran dan suara di sekelilingnya.

Namun, keanehan semakin menjadi-jadi. Ketika pisau bedah mencoba menggores kulitnya, pisau itu patah begitu saja.

"Ini tidak masuk akal," kata dokter dengan nada frustasi. "Pisau bedah tidak mempan."

San yang melihat fenomena aneh ini langsung menyadari ada sesuatu yang lebih dari sekadar masalah medis. "Dokter, mungkin ini bukan sesuatu yang bisa diatasi dengan peralatan medis biasa."

Akhirnya, operasi caesar dibatalkan. San membawanya keluar dari rumah sakit, bergegas menuju tempat yang hanya dia yang tahu. Ia melaju dengan kecepatan penuh, meninggalkan gedung rumah sakit.

Di dalam mobil, Wooyoung merasa takut dan cemas. "Ke mana kita pergi?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Kita akan pergi ke tempat di mana aku tahu cara supaya kamu bisa melahirkan," jawab San dengan tegas.

Mereka tiba di sebuah rumah tua yang tersembunyi di pinggir kota. San mengetuk pintu dengan cepat, dan seorang wanita tua dengan wajah penuh kebijaksanaan membuka pintu.

"Masuklah," kata wanita itu tanpa basa-basi. "Aku tahu apa yang kalian butuhkan."

Mereka membantu Wooyoung masuk ke dalam rumah, membawanya ke sebuah ruangan yang dipenuhi aroma ramuan dan lilin menyala. Wanita tua itu mempersiapkan segala sesuatu dengan hati-hati, menciptakan suasana yang tenang dan damai.

"Berbaringlah, Wooyoung," kata wanita itu dengan lembut. "Aku akan membantumu melahirkan dengan cara yang tidak biasa."

Dengan hati yang penuh harap dan rasa takut yang terselubung, Wooyoung mengikuti instruksi wanita itu. Ia berbaring dibantu San, mengatur napasnya, dan berusaha tenang.

Wanita tua itu mulai merapalkan mantra, mengundang kekuatan yang lebih besar untuk membantu proses kelahiran ini.

Bersambung.

Hayolo kenapa bisa itu piso bedah ga mempan ke perutnya 👀

Outta Hell • All × Wooyoung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang