4

213 18 0
                                    

Wooyoung terbaring dengan napas terengah-engah, merasakan setiap detik berlalu dengan perlahan seperti jam pasir yang hampir habis.

Rasa sakit yang mendera tubuhnya terasa tak tertahankan, setiap kontraksi seperti menggulung tubuhnya dalam penderitaan yang tiada akhir. San, yang masih setia di sampingnya, menatap wanita tua itu dengan cemas.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya San, suaranya penuh kekhawatiran. "Mengapa dilatasinya tertahan?"

Wanita dukun itu menatap Wooyoung dengan mata yang penuh pemahaman. "Dia terkena ilmu hitam," jawabnya dengan tenang. "Seseorang sengaja melempar guna-guna padanya."

Wooyoung terheran, pikirannya berputar-putar mencari jawaban. "Aku tidak pernah membuat masalah pada siapapun," gumamnya dengan suara lemah, air mata mengalir di pipinya.

Dukun itu mengangguk, matanya menatap tajam ke arah Wooyoung. "Kadang-kadang, kebencian datang dari arah yang tidak kita duga," katanya. "Untuk mengatasinya, aku harus mempersiapkan segalanya."

Dengan gerakan yang cepat namun penuh kehati-hatian, wanita tua itu menyalakan lebih banyak lilin di sekeliling ruangan. Aroma lilin yang terbakar dan asap yang mengepul menciptakan suasana yang penuh mistis dan misteri. Ia mengambil mangkuk berisi air dan menaburkan kelopak mawar di dalamnya, menciptakan efek magis yang memikat.

"Kita butuh darahnya," kata dukun itu, menatap San. "Aku harus menggores kulitnya untuk mendapatkan darahnya. Dengan darah itu, aku akan menggambar simbol untuk mematahkan guna-guna ini."

San mengangguk, meskipun ragu-ragu. Wanita tua itu mengeluarkan pisau kecil dan menggores kulit Wooyoung dengan hati-hati, membuat Wooyoung mendesis dengan tambahan rasa sakit dan ngilu lain dari bagian lain fisiknya. Darah segar mengalir perlahan dari lukanya. Dengan tangan terampil, sang dukun menggunakan darah itu untuk menggambar simbol aneh di sekeliling perut Wooyoung.

Mantra mulai dirapalkan dengan suara yang lembut namun penuh kekuatan. Wanita tua itu mengelus permukaan kulit perut Wooyoung dengan gerakan melingkar, seolah-olah membelai bayi yang belum lahir. Anehnya, simbol itu tidak terhapus, menempel seperti tato permanen. Rasa sakit yang menusuk tajam semakin menguasai tubuh Wooyoung, membuatnya menjerit keras. Perutnya bergejolak, seakan bayinya akan merobek perutnya dari dalam.

"Pegang dia," perintah wanita tua itu pada San. "Sakitnya akan semakin tak tertahankan, dia butuh bantuanmu."

Dengan cepat, San memegangi tubuh Wooyoung yang bergetar hebat, mencoba memberikan dukungan sekuat mungkin. Mantra terus dirapalkan, suaranya semakin mendalam dan penuh kekuatan. Air dengan kelopak mawar itu mulai berubah warna, perlahan-lahan menjadi hitam pekat, tanda bahwa guna-guna sedang dipindahkan.

"Aku tahu ini sulit," bisik wanita tua itu, suaranya penuh ketenangan. "Tapi kamu harus bertahan. Ini untuk keselamatan bayimu."

Wooyoung mengangguk lemah, air mata membasahi wajahnya. Rasa sakitnya begitu hebat, namun ia tahu ia harus bertahan demi bayi yang ada di dalam perutnya. Sambil mengerahkan seluruh kekuatannya, ia berusaha melawan rasa sakit yang mendera tubuhnya.

Mantra terus berlanjut, lilin-lilin berkedip di sekitar mereka. Air dalam mangkuk itu semakin pekat, menjadi hitam sepenuhnya. Tanda bahwa guna-guna telah dipindahkan seutuhnya.

Tubuh Wooyoung tiba-tiba tersentak, merasakan dilatasi yang tak terduga, seolah-olah rahimnya membuka dengan kekuatan tak tertahankan hingga bukaan terakhir, sepuluh sentimeter. Wooyoung terkesiap, rasa ngilu menyelimuti tubuhnya. Kepanikan terpancar di matanya, tapi dukun itu tetap tenang, memberi isyarat bahwa saatnya telah tiba.

"Bayi sudah crowning, puncak kepalanya sudah terlihat" ujar dukun itu dengan nada tegas namun penuh ketenangan. "Sekarang, Wooyoung, saat kontraksi datang, kamu harus mengejan sekuat tenaga."

Outta Hell • All × Wooyoung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang